Undang-undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) telah resmi masuk program legislasi nasional (Prolegnas) 2024.
Sebagaimana telah terdaftar dalam website DPR undang-undang itu telah masuk dan akan menjadi pembahasan
Menanggapi hal tersebut, Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Golkar, Ahmad Doli Kurnia mengklaim revisi UU MD3 telah masuk ke prolegnas tujuannya bukan untuk merebut kursi ketua DPR. Melainkan agar melepaskan posisi DPRD, sehingga nanti UU menjadi MD2.
“Kalaupun itu benar, dan ternyata itu informasi benar, itu dalam rangka perbaikan kinerja seperti MPR, DPR, DPD, dan itu sebetulnya MD2, karena DPRD sudah tidak diatur dan sudah masuk undang-undang pemerintah daerah,” kata Doli kepada awak media, di Jakarta, seperti dikutip Selasa (2/4/2024).
“Bisa jadi gagasan muncul revisi MD3 muncul karena untuk mengubah menjadi MD2. Karena DPRD sudah diatur di Undang-undang daerah. Kami di Komisi II, rancangan Undang-undang paket politik, atau Omnibus Law Politic, kami mendorong Undang-undang tentang DPRD,” tambahnya.
Meski demikian, Doli menyatakan dirinya akan mengecek secara langsung terkait UU MD3 yang telah masuk ke prolegnas. Karena dirinya belum mengetahui detail terkait proses pengajuan aturan tersebut.
“Coba saya cek nanti. Karena begini, kan di DPR dari awal pertama masuk diminta menyusun daftar Prolegnas Undang-undang apa saja yang perlu direvisi, dilakukan penyempurnaan atau Undang-undang yang baru selama lima tahun,” ujarnya.
Sekjen PDIP Menduga Ada Tekanan Ajukan Hak Angket
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mengatakan, pihaknya mendapat tekanan oleh Partai Golkar yang diduga menggunakan cara dengan merebut kursi ketua DPR melalui revisi Undang-Undang tentang MPR, DPR dan DPD atau UU MD3.
Tekanan tersebut, lantaran PDIP saat ini tengah menggulirkan hak angket terkait dugaan kecurangan Pilpres 2024.
Diketahui, berdasarkan UU MD3, mekanisme pemilihan Ketua DPR otomatis dipilih berdasarkan hasil perolehan kursi terbanyak partai di parlemen pada pemilihan legislatif 2024.
"Maka karena angket ini menakutkan bagi pemerintah, bagi Pak Jokowi, makanya kita harus membangun kesadaran pentingnya angket ini. Sehingga ketika nanti muncul tekanan-tekanan. Ini kan belum-belum, PDIP sudah ditekan oleh Golkar mau mengambil alih lewat MD3, mengambil jabatan ketua DPR RI," kata Hasto, saat diskusi secara virtual, Sabtu (30/3/2024).
Politikus asal Yogyakarta ini menuturkan, 2014 silam ketika Presiden Jokowi dan PDIP memenangkan Pemilu terjadi revisi UU MD3. Sehingga, tak menutup kemungkinan jika nanti akan terjadi revisi kembali.
Namun, Hasto mengklaim PDIP tidak akan mundur dari rencana untuk menggulirkan hak angket ini. "Ibu Megawati (Ketua Umum PDIP) ajarkan kita untuk tidak takut membela kebenaran," ucap Hasto.
Menurut dia, PDIP akan menggulirkan hak angket sebagaimana instruksi Megawati sebagai ketua umum partai.
"Kalau Ibu Mega katakan gulirkan, saat itu juga kami gulirkan," imbuhnya.
Tolak Hak Angket Hasil Pemilu, Golkar: Tidak Masuk Logika
Ketua Badan Hukum dan HAM (Bakumham) DPP Partai Golkar Supriansa menegaskan partainya menolak ide untuk menggunakan hak angket terkait hasil Pemilu 2024.
Menurut Supriansa, sebagai anggota DPR yang memiliki hak konstitusi menggunakan hak angkat, ide tersebut jauh dari nalar. Sebab, hasil Pemilu 2024 belum rampung seluruhnya.
"Tidak masuk logika hukum jika ada pihak yang meributkan terkait penggunaan hak angket anggota DPR terhadap sesuatu yang belum selesai dan tidak jelas permasalahan hukumnya," tutur Supriansa dalam keterangan di Jakarta, Kamis (22/2/2024).
Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Golkar ini menegaskan, hak angket adalah hak penyelidikan terhadap sesuatu yang bertentangan dengan Undang-Undang. Ia justru bertanya UU mana yang dilanggar sehingga muncul ide untuk menggunakan hak angket terkait hasil Pemilu 2024.
Supriansa yang juga Juru Bicara Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka ini menyebut sudah ada rambu-rambu yang jelas terkait penyelesaian sengketa hasil Pemilu. Yakni, jika ada indikasi kecurangan, maka bisa melapor ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Sentra Gakkumdu.
"Sengketa hasil Pemilu dilaporkan ke MK, pelanggaran etik dilaporkan ke DKPP, dan sengketa tata usaha negara di PTUN," tegas Supriansa.