Perlunya Standardisasi 'Self-Assesment' Sikapi Kenaikan Signifikan Citra Positif DPR

Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih menilai DPR harus punya standar penilaian sendiri. Hal itu disampaikan Abdul Fikri dalam merespons kenaikan tren citra positif yang signifikan dari publik. Hal itu tercermin dari Survei Kepemimpinan Nasional yang dilakukan Litbang Kompas periode 27 Mei 2024-2 Juni 2024, yang melibatkan 28 Peneliti Litbang Kompas dan 274 orang tenaga lapangan di 38 provinsi.

Untuk diketahui, kenaikan citra positif DPR ini merupakan yang tertinggi di antara tujuh lembaga negara lainnya yang disurvei oleh Litbang Kompas, dalam rentang sejak Desember 2023 (50 persen) ke Juni 2024 (62,6 persen). Artinya, terjadi kenaikan sekitar 12 persen, di mana capaian itu melebihi kenaikan TNI, Polri, DPD, MA, hingga Kejaksaan.

“DPR perlu punya standar penilaian sendiri, supaya tidak disetir pihak lain. Ada self-assessment. Supaya tidak terombang-ambing oleh situasi dan faktor eksternal yang kompleks,” ujar Abdul Fikri dalam pernyataan tertulis yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Sabtu (22/6/2024).

Ia menambahkan setidaknya terdapat tiga fungsi yang menjadi tugas dan wewenang DPR, yaitu Legislasi, Penganggaran, dan Pengawasan. Tiga hal tersebut harus ada Key Performance Index atau KPT untuk mengukur standar sukses atau gagalnya. Standar sukses tersebut dapat diukur oleh internal DPR atau melibatkan tim profesional, baik dari unsur dalam negeri maupun luar negeri.

“DPR perlu punya standar penilaian sendiri, supaya tidak disetir pihak lain. Ada self-assessment. Supaya tidak terombang-ambing oleh situasi dan faktor eksternal yang kompleks”

“Sehingga, jelas ada target dan road map yang sesuai dengan kewenangan DPR,” pesan Politisi Fraksi PKS ini.

Perlunya self-assesment ini lantaran biasanya untuk mengukur produktivitas DPR kerap kali dilihat dari produk legislasi yang sifatnya kuantitatif, yaitu perbandingan antara UU yang dihasilkan dengan Prolegnas. Menurutnya, klaim public tersebut tidak adil karena seringnya UU disahkan atau tidak itu bukan melulu lantaran kinerja DPR tapi ada peran pemerintah yang juga sangat penting.

“Dan pemerintah rata-rata tidak jadi faktor yang jadi ukuran (untuk dinilai lambannya proses pembahasan UU).  Padahal faktanya beberapa RUU tidak jadi itu lantaran pemerintah tidak support atau bahkan tidak mau hadir dalam pembahasan,” jelasnya.

Di sisi lain, ia pun menanggapi sorotan publik terkait kasus korupsi yang seringkali dilekatkan dengan DPR. Seringnya kasus korupsi ini membuat citra negatif di mata publik. Kalau sudah berkaitan dengan kasus korupsi DPR tersebut, KPK atau Aparat Penegak Hukum (APH) lainnya langsung sigap menangani.   

“Karena secara (penilaian) publik yang seksi adalah ketika kasus itu ada unsur politiknya. Kalau sekarang ada tambahan ukurannya yaitu viral atau tidak viral isu itu di media,” tutupnya.

Adapun survei ini dilakukan dengan teknik wawancara tatap muka terhadap 1.200 responden dengan penarikan sampel acak sederhana, margin error +/- 2,83 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.

Diposting 24-06-2024.

Dia dalam berita ini...

Abdul Fikri Faqih

Anggota DPR-RI 2019-2024
Jawa Tengah 9