PENERIMAAN Peserta Didik Baru (PPDB) setiap tahunnya mengalami permasalahan yang terus berulang. Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih mengatakan salah satu hal yang disayangkan adalah masalah sistem zonasi yang terus berulang.
“Kita terus jatuh di lubang yang sama berulang kali, diskusi (soal PPDB) tidak pernah berubah,” ungkapnya dilansir dari keterangan resmi, Kamis (11/7).
Fikri menyatakan, alih-alih pemerintah menciptakan pemerataan pendidikan yang lebih berkeadilan, persoalan PPDB malah menimbulkan sarang masalah setiap tahunnya.
Menurutnya, masyarakat berebut sekolah favorit karena dua alasan. Pertama, kualitas SDM (guru dan tenaga kependidikan) dan kedua, fasilitas dan sarana prasarana sekolah.
“Yang jadi masalah, kami belum melihat upaya pemerataan kualitas guru, misalnya guru terbaik disebar ke berbagai sekolah,” ujar Fikri.
Selain itu, jumlah sekolah yang unggul secara sarana dan prasarananya juga terbatas, sehingga daya tampung muridnya juga sangat sedikit dibanding kebutuhannya.
“Dulu (2016) ada program unit sekolah baru, sekarang sudah tidak ada lagi di Kemendikbud-Ristek. Kapan bisa terkejar kuota daya tampung murid baru?” tuturnya.
Menurutnya, sejak 7 tahun terakhir pelaksanaan PPDB sistem zonasi selalu berakhir dengan banyak masalah yang terungkap di Komisi X DPR. Ini membuktikan adanya kegagalan sistem.
“Kalau enggak efektif ya diubah (sistemnya), berarti kita tidak mampu untuk meniadakan sekolah favorit,” tegas dia.
Seperti diketahui sebelumnya, tujuan awal pemerintah mencetus PPDB berbasis zonasi adalah untuk meniadakan sekolah favorit atau istilah kasta dalam sistem pendidikan, sehingga harapannya tercipta kualitas pendidikan yang merata. Ia menegaskan bahwa tujuan tersebut tidak selalu bisa dipaksakan karena berarti selalu ada sekolah favorit, sebagaimana Kemendikbud-Ristek meluncurkan SMK pusat keunggulan.
“Jangan-jangan malah SMK pusat keunggulan adalah sekolah favorit,” imbuh dia.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf memberikan masukan perubahan mendasar untuk Kemendikbud-Ristek guna mengatasi persoalan PPDB.
“Tujuh tahun kita PPDB, formatnya masih sama. Itu kalau kata orang, ya tadi sebagaimana kawan-kawan sudah sampaikan, rasanya harus ada perubahan yang mendasar. Saya tawarkan tiga opsi, tiga opsi ini mudah-mudahan bisa dilihat nanti di dalam pemerintahan berikutnya,” ujarnya.
Opsi pertama yakni, membangun sekolah baru. Opsi ini tentu akan memakan anggaran, namun menurutnya bisa memanfaatkan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD).
“Apabila disisipkan saja mungkin Rp50 triliun tiap tahun, maka dalam 10 tahun itu (Pembangunan sekolah baru) akan selesai. Jadi untuk membangun sekolah-sekolah baru, itu opsi pertama. Tentu membutuhkan waktu, membutuhkan aset dan sebagainya,” tuturnya.
Kedua, dilakukan pemberdayaan sekolah swasta dalam proses PPDB. Sehingga output lulusan sekolah dapat tertampung semua ke sekolah jenjang berikutnya.
“Intinya adalah output daripada SD semua tertampung di SMP, output daripada SMP semua tertampung di SMA. Mau itu sekolah negeri, mau itu sekolah swasta. Namun tentu butuh dukungan untuk swasta-swasta, ya gurunya, ya lab-nya, ya sarana-prasarana, ya biaya operasionalnya,” ucapnya.
Dorongan kepada pemerintah daerah untuk mendukung sekolah-sekolah swasta juga diperlukan. Sehingga, pemerintah daerah dapat membantu anggaran sekolah swasta melalui transfer dana ke daerah juga. Dengan memberdayakan sekolah swasta ini juga dapat mengatasi masalah sekolah swasta yang saat ini kekurangan siswa.
Kemudian opsi terakhir yakni mengubah sistem PPDB. “Opsi ketiga, saya pahit-pahit saja, mengubah PPDB. Judulnya nanti mau kembali ke NEM kek, mau kembali ke apa, silahkan. Tapi kalau sampai tidak berubah, terlalu. Karena ini bagaimanapun pemerintah ke depan harus punya komitmen yang sama,” pungkasnya.