DPRD DKI Jakarta dan Pemprov DKI Jakarta telah menyepakati besaran nilai rancangan Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) APBD tahun anggaran 2025 sebesar Rp 91,1 triliun. Terkait keputusan itu, program sekolah gratis dari tingkat SD hingga SMA akan terealisasi pada Juli 2025.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Komisi X DPR RI MY Esti Wijayati menyambut positif rencana DKI Jakarta yang menggagas program sekolah gratis mulai tahun ajaran baru 2025, dalam hal ini termasuk sekolah swasta yang biasanya berbayar.
“Kebijakan rencana sekolah gratis di Jakarta adalah langkah yang patut diapresiasi. Kita dorong agar daerah-daerah lain mampu mengupayakan hal yang sama, karena ini merupakan implementasi dari amanat konstitusi negara,” sebutnya dalam keterangan tertulis kepada Parlementaria, di Jakarta, Minggu (10/11/2024).
Penggratisan ini nantinya berlaku untuk biaya Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) uang pangkal, bahkan biaya pendaftaran masuk. Hanya saja pembebasan biaya ini tak diberlakukan untuk semua sekolah.
Hanya sekolah swasta berstatus klaster 1 sampai 3 (grade A, B, C) yang akan menjadi sasaran program sekolah gratis di Jakarta. Sementara sekolah swasta klaster 4 dan 5 (grade D dan E) tidak akan jadi sasaran karena kualitasnya sudah elit.
Menurut Esti, penggratisan biaya sekolah merupakan modal membangun sumber daya manusia (SDM) Indonesia, terutama untuk tingkat pendidikan dasar. Sebab SD merupakan pondasi pendidikan anak.
Apalagi berdasarkan data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), angka putus sekolah tingkat SD cukup tinggi di mana selama 10 tahun pada periode 2014-2024, ada 284.224 anak SD yang putus sekolah dan 486.863 anak tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya setelah lulus SD.
Bahkan ironisnya, sebanyak 676.851 anak Indonesia rentang usia SD (7-12 tahun) belum pernah merasakan bangku sekolah menurut data yang sama.
“Kalau kita mau mengejar agar anak-anak tidak putus sekolah, semua anak kita sekolah setidaknya sampai SD, mari kita benahi dari pondasi pendidikan dengan memberikan sekolah gratis di tingkat pendidikan dasar,” ucap Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.
Pimpinan Komisi di DPR yang membidangi urusan pendidikan ini menambahkan, sekolah gratis di tingkat pendidikan dasar akan mendukung visi misi Presiden Prabowo yang ingin membangun negara dari desa. Esti menilai, hal tersebut harus dimulai dari pembangunan pada bidang pendidikan.
“Program sekolah gratis untuk SD ini harus merata. Bukan hanya di kota-kota besar saja, tapi sampai ke daerah-daerah pelosok negeri,” tutur Legislator dari dapil DI Yogyakarta itu.
“Termasuk infrastruktur pendidikan seperti akses dan sarana prasarana sekolah yang memadai, serta memastikan ketersediaan guru bagi semua sekolah di Indonesia,” sambung Esti.
Esti pun mengatakan, DPR RI juga siap memberi dukungan melalui fungsi penganggaran demi memastikan anak-anak Indonesia memperoleh pendidikan yang layak.
“Program sekolah gratis untuk SD ini harus merata. Bukan hanya di kota-kota besar saja, tapi sampai ke daerah-daerah pelosok negeri”
“DPR juga selama ini berusaha memenuhi amanah konstitusi dengan menetapkan anggaran pendidikan sebesar 20 persen di APBN,” jelasnya.
Di sisi lain, Esti menyoroti masih adanya sekolah negeri yang menarik iuran kepada siswa meskipun biaya pendidikan seperti SPP gratis karena ada dukungan program BOS dari Pemerintah. Misalnya iuran untuk pembinaan, biaya seragam, biaya buku tambahan, hingga biaya untuk kegiatan ekstrakurikuler, dan lainnya.
“Ini yang menjadi catatan kami. Banyak masyarakat mengeluhkan soal hal ini. Masih banyak sekolah negeri yang banyak iuran walaupun biaya SPP gratis. Buat masyarakat kurang mampu pastinya sangat memberatkan karena terkadang iuran yang diminta juga tidak kecil,” terang Esti.
Padahal berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016, sekolah dilarang untuk melakukan pungutan kepada peserta didik atau orang tua/wali. Pungutan adalah penarikan uang yang bersifat wajib dan mengikat.
Untuk itu, Esti meminta ada pengawasan yang ketat dari Pemerintah terkait hal ini. Terutama pengawasan bagaimana dana BOS digunakan sekolah dengan efektif, termasuk bagi perawatan fasilitas di sekolah.
“Karena ternyata ada sekolah yang punya laboratorium komputer tapi tidak bisa digunakan saat dibutuhkan anak-anak buat belajar. Mereka harus bawa laptop sendiri. Buat yang mampu mungkin tidak masalah, tapi bagaimana untuk mereka yang orangtuanya untuk makan sehari-hari saja susah?” tukasnya.
Esti juga meminta adanya pengawasan ketat dan menindak tegas apabila ada sekolah negeri yang melakukan pungutan berkedok sumbangan. Sebab hal ini pernah menjadi temuan dari Ombudsman RI. Sumbangan di sekolah sendiri memang diperbolehkan, namun dengan catatan bersifat sukarela dan tidak mengikat.
“Juga bagaimana Komite Sekolah yang berfungsi melakukan pengawasan pendidikan betul-betul memainkan perannya dengan baik agar jangan ikut ‘mengamini’ praktik pungutan berkedok sumbangan di sekolah,” tutup Esti.