Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto menyampaikan apresiasinya kepada langkah Kementerian Ketenagakerjaan dalam menginisiasi perubahan regulasi yang meningkatkan perlindungan bagi pekerja melalui BPJS Ketenagakerjaan. Apresiasi ini juga disampaikan atas penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2025 yang dinilai sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam menjamin perlindungan bagi pekerja yang mengalami kehilangan pekerjaan.
“Saya apresiasi dulu pada Kementerian Ketenagakerjaan yang juga menginisiasi beberapa perubahan regulasi untuk meningkatkan perlindungan BPJS Ketenagakerjaan, juga apresiasi untuk PP No. 6 Tahun 2025. Ini tentu semakin meningkat komitmen pemerintah terhadap jaminan kehilangan pekerjaan,” ujar Edy dalam rapat kerja Komisi IX bersama Sekjen Kemenaker di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (18/02/2025).
Namun Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu mengkritisi terkait permasalahan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang diperluas. Ia menilai dengan adanya regulasi ini dapat menimbulkan adanya timpang tindih antara data yang ada di JKN seperti data PPU dan PBI, yang seharusnya dapat memperbaiki sistem pada BPJS Kesehatan. Ia juga tekankan bahwa hal tersebut sangat penting karena juga menyangkut pada sistem JKN.
“Hanya satu yang saya kurang sependapat. Soal JKN yang diperluas. Karena saat ini sebenarnya di JKN untuk peserta PPU (Pekerja Penerima Upah) dan PBI (Penerima Bantuan Iuran), itu ada overlap data. Dan itu salah satu cara sebenarnya untuk memperbaiki kesehatan organisasi BPJS Kesehatan. Tapi dengan diperluas PPU, PBI, dan mandiri sebagai prasayat untuk JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan), artinya sebetulnya regulasi ini melegitimasi double data di JKN Kesehatan antara PBI dan PPU. Ini mohon dikaji. Dan dikaitkan juga dengan JKN. Ini menjadi isu penting di dalam menyehatkan Jaminan Kesehatan Nasional. Karena kan kita tahu bahwa JKN kita potensi defisit. Ini yang jadi masukan saya,” tegasnya.
Selain itu, ia juga menyoroti peran Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dalam mengantisipasi berbagai perubahan regulasi. Ia menekankan pentingnya aturan yang lebih jelas terkait perpindahan status kepesertaan dari PPU ke PBU agar hak-hak jaminan pensiun pekerja tetap terlindungi.
“Saya juga apresiasi bahwa DJSN juga mengantisipasi berbagai regulasi. Ini bagus. Kan banyak kan orang yang semula bekerja diPHK, semula dia mendapat jaminan pensiun, ketika dia tidak bekerja, lalu menjadi PPU, kan dia tidak bisa melanjutkan lagi jaminan pensiun. Artinya hak-hak dia hilang. Demikian juga sebaliknya. Ini ruang yang memang harus diatur di dalam regulasi,” tambahnya.
Lebih lanjut, Legislator Dapil Jawa Tengah III itu juga mengkritisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2013 yang dinilainya perlu dievaluasi. Menurutnya, dalam UU DJSN, jaminan pensiun hanya mencakup pekerja PPU, sementara BPU (Bukan Penerima Upah) hanya disebutkan dalam Perpres No. 109, itu pun sifatnya tidak wajib.
"Otoritas ada di DJSN, apakah ada keberanian untuk merevisi UU DJSN untuk memperkuat jaminan pensiun? Atau setidaknya merevisi PP No. 45 dan PP No. 109 memasukkan norma jaminan pensiun? Memungkinkan tidak? Agar kita bisa lebih cepat di dalam rangka untuk memberi perlindungan pada jaminan pensiun. Karena ini kalau tidak, masyarakat kita di hari tuanya menderita. Harus ada ketertiasaan negara di dalam jaminan sosial. Ini saya kira pertanyaan saya untuk DJSN,” tegasnya.