Banyak Pasien Desil 1 Hingga 4 Kena Penonaktifan BPJS PBI, Kemensos Harus Evaluasi!

sumber berita , 14-11-2025

Anggota Komisi IX DPR RI Achmad Ru’yat menyoroti kebijakan Kementerian Sosial yang menonaktifkan 7,3 juta peserta BPJS Penerima Bantuan Iuran (PBI). Ia menilai langkah tersebut berpotensi menghambat akses pelayanan kesehatan masyarakat miskin yang membutuhkan pengobatan rutin.

“Kasihan Pak yang periksa. Banyak dari mereka adalah pasien cuci darah, jantung, ginjal, dan paru yang membutuhkan pengobatan rutin, tetapi mereka (pembayarannya) tidak ter-cover. Kami minta BPJS Kesehatan melaporkan progres reaktivasi peserta tersebut, karena sejauh ini baru sekitar 100 ribu yang aktif kembali,” ujar Ru’yat dalam agenda Rapat Panja Jaminan Kesehatan Nasional dengan Kementerian Kesehatan RI, BPJS Kesehatan, dan sejumlah asosiasi penyedia layanan kesehatan di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

Ru’yat menjelaskan, berdasarkan hasil pengecekan lapangan, banyak peserta PBI yang dinonaktifkan justru masih masuk kategori desil 1 hingga 4 dalam data sosial ekonomi, tetapi tetap dicabut kepesertaannya. Ia mencontohkan bahwa di Kabupaten Bogor terdapat sekitar 122 ribu peserta BPJS PBI yang tidak lagi terlayani akibat kebijakan tersebut.

Selain menyoroti penonaktifan peserta PBI, Ru’yat juga meminta agar pemerintah menjamin kesetaraan akses layanan kesehatan antara sektor publik dan swasta. Menurutnya, harmonisasi tarif dan standar pelayanan BPJS penting agar masyarakat tidak dibedakan dalam memperoleh pelayanan kesehatan.

Ia menuturkan, masih terdapat rumah sakit swasta yang enggan menerima pasien BPJS, kecuali untuk kasus tertentu seperti kanker. “Saya pernah mendapat laporan ada pasien darurat di kawasan Sudirman yang tidak dilayani karena rumah sakit swasta itu tidak bekerja sama dengan BPJS. Hal seperti ini harus jadi perhatian agar semua rumah sakit bisa melayani peserta BPJS secara setara,” tegasnya.

Lebih lanjut, Politisi Fraksi PKS itu juga menyoroti keterbatasan regulasi BPJS yang membatasi ruang gerak profesi dokter dalam menjalankan diagnosis klinis. Ia meminta agar Panja Jaminan Kesehatan Nasional merekomendasikan kebijakan yang memberikan keleluasaan bagi dokter untuk bekerja secara profesional tanpa dibatasi standar layanan yang terlalu kaku.

“Jangan sampai karena keterbatasan aturan, pengobatan menjadi tidak tuntas. Misalnya pada kasus tuberculosis, pasien memang tampak sembuh, tetapi bakteri atau virusnya belum benar-benar hilang sehingga bisa kambuh lagi,” pungkasnya.

Diposting 14-11-2025.

Dia dalam berita ini...

drh. H. ACHMAD RU'YAT, M.Si.

Anggota DPR-RI 2024-2029
Jawa Barat 5