Restitusi bagi korban tindak pidana ditegaskan sebagai kewajiban mutlak pelaku dan bukan sekadar bentuk hukuman tambahan. Isu tersebut mencuat dalam lanjutan Rapat Kerja (Raker) Baleg DPR RI bersama Kapolri, Wamenkumham, Jaksa Agung, dan Puijiyono Suwadi saat membahas RUU Perlindungan Saksi dan Korban (RUU PSdK).
Disampaikan oleh Anggota Baleg, Umbu Kabunang Rudi Yanto Hunga, penempatan restitusi sebagai kewajiban pelaku dianggap menjadi langkah penting untuk menggeser fokus penegakan hukum dari semata penghukuman pelaku menuju pemulihan hak korban. Perubahan paradigma ini dinilai krusial untuk memastikan negara benar-benar hadir dalam menjamin hak korban.
“Restitusi ini bukan denda pengganti atau hukuman tambahan. Ini adalah kewajiban pelaku, dan menjadi warna baru penegakan hukum yang harus berpihak pada korban,” ujar Umbu di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (3/12).
Lebih lanjut, legislator dari Fraksi Partai Golkar ini juga menyoroti praktik lama yang kerap memberikan opsi substitusi berupa pidana badan atau denda pengganti ketika pelaku tidak mampu membayar restitusi. Ia menilai skema tersebut hanya mengulang pendekatan masa lalu dan tidak memenuhi tujuan utama pemulihan korban sebagaimana diatur dalam RUU PSdK.
Menurutnya, penegak hukum harus sepakat untuk menghilangkan celah-celah substitusi restitusi tersebut. Konsistensi antara polisi, jaksa, dan hakim diperlukan agar restitusi tetap menjadi prioritas yang tidak bisa dinegosiasikan dalam penanganan perkara pidana.
“Kalau masih ada subsidi seperti pidana badan atau denda pengganti, maka semangat pemenuhan hak korban tidak akan tercapai. Restitusi harus murni dipenuhi pelaku,” tegas Umbu.
Dalam raker tersebut, Umbu turut menekankan pentingnya memperkuat kewenangan penyidik dalam melakukan penyitaan aset pelaku, termasuk pada perkara yang tidak memiliki barang bukti hasil kejahatan. Ia menilai langkah tersebut penting agar restitusi dapat benar-benar dieksekusi setelah putusan inkrah dan tidak berhenti pada tataran norma.