Ketua DPRD Lampung Selatan Siti Farida mengaku bahwa pihaknya tidak pernah dilibatkan dalam rencana pembangunan Kotabaru di Jatiagung. Ia berharap ke depan Pemprov Lampung dapat melibatkan pihaknya dalam pembangunan Kotabaru itu.
’’Ini mengingat pembangunannya dilaksanakan di Jatiagung yang merupakan bagian dari Lamsel. Masyarakat di sana juga warga Lamsel,” ujarnya saat menerima perwakilan masyarakat Desa Purwotani yang berunjuk rasa di gedung DPRD Lamsel kemarin (7/6).
Kendati demikian, politisi Partai Demokrat ini menyatakan bahwa pihaknya akan tetap mendampingi masyarakat Desa Purwotani untuk mencari solusi permasalahan itu.
Diketahui, ratusan massa dari Desa Purwotani yang didampingi Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI), dan Gabungan Petani Lampung (GPL) menggelar unjuk rasa di gedung DPRD Lamsel.
Aksi didahului dengan longmars dari sekretariat LMND. Kedatangan mereka untuk menuntut agar lahan produktif seluas 350 hektare (ha) di desa mereka tidak digusur sebagai calon lokasi Kotabaru.
Massa menyatakan bahwa sejak 2007, di sana telah dilaksanakan program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Lindung (GNRHL) dengan melibatkan petani-petani setempat. ’’Kelompok-kelompok tani ini bahkan telah memegang surat perintah kerja dari Dinas Kehutanan (Dishut) Lamsel. Hal itu mengacu pada program yang dicanangkan pemerintah dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, yakni Menko Bidang Kesejahteraan Rakyat, Menko Bidang Perekonomian, serta Menko Bidang Politik dan Keamanan,” kata Ketua GPL Abu Hasan.
Abu mengatakan, dana tali asih Rp5 juta per ha sungguh tidak layak. Terlebih lagi masyarakat di sana menggantungkan hidupnya dengan menggarap hutan produksi GNRHL itu.
Menanggapi masalah ini, anggota DPRD Lamsel asal Dapil V Nanang Ermanto dalam kesempatan itu menyatakan kekecewaannya. Ia menyesalkan sikap para petani di Desa Purwotani yang tidak pernah berkoordinasi dengan dirinya selaku anggota DPRD perwakilan daerah itu. ’’Saya sebagai anggota dewan yang berasal dari dapil itu malah tidak pernah tahu masalah ini. Tapi, teman-teman langsung ke Pemprov Lampung bahkan ke Jakarta. Tapi, ini tidak menjadi soal. Masalah ini akan kita carikan solusi yang terbaik melalui musyawarah mufakat,” ujarnya.
Sedangkan Hipni dari komisi C menyatakan agar masalah ini dapat dipilah untuk kewenangan. Sebab, kata dia, masalah Kotabaru ini banyak melibatkan pihak, baik dari daerah, kabupaten, provinsi, hingga pemerintah pusat. ’’Saya rasa, perlu juga dipahami adanya hierarki kewenangan,” tukas Hipni.
Sementara Asisten Bidang Pemerintahan Yusuf R.S. mengatakan, dia juga duduk sebagai anggota Tim Pengembangan Kotabaru. Dikatakannya, lahan itu seluas 1.000 ha awalnya milik LIPI dan 350 ha milik Bappeda. Karena itu, lanjut dia, Pemprov Lampung memberikan tali asih Rp5 juta untuk 1 hektarenya dan telah diberikan 350 ha. Untuk perizinannya, Pemprov Lampung telah mengupayakannya dan kini sedang dalam proses.
’’Tapi, atas aspirasi dari teman-teman hari ini akan kita sampaikan ke Pemprov Lampung untuk dicarikan solusinya,” kata Yusuf.
Plt. Kadishut Lamsel Saiful Bahri menjelaskan, GNRHL pada 2007 itu diborongkan kepada pihak ketiga berasal dari Jambi dengan menanam pohon karet. Sedangkan petani dilibatkan hanya turut menanam dan dapat memanfaatkan hasilnya.
’’Untuk kewenangan lahan itu ada di tangan Kemenhut. Sedangkan pengamanannya oleh gubernur Lampung. Tapi, GNRHL bukan merupakan justifikasi izin untuk mengelola hutan,” tandasnya.