Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Laode Ida berpendapat, Indonesia- Malayasia adalah dua negara yang sering terjadi konflik karena faktor arogansi negara, kepentingan ekonomi, dominasi ekonomi iptek dan dominasi budaya-bahasa.
Ketika tampil dalam sebuah seminar internasional Serumpum Melayu V di Makassar, Kamis (8/6) anggota DPD asal Sulawesi Tenggara (Sultra) itu mengemukakan, suatu negara yang berdiri dengan kedaulatannya sendiri akan menjadi faktor utama peretak atau keterbelahan sosial budaya. "Hubungan politik antara Indonesia-Malaysia pada era pemerintahan Soekarno yang sempat tidak kondusif merupakan bagian yang mempengaruhi munculnya sikap curiga Malaysia terhadap Indonesia," ujar Laode Ida.
Dia menambahkan, konflik dua negara serumpun antara Malaysia dan Indonesia, dapat pula disebabkan faktor kepentingan ekonomi. Khususnya potensi sumber daerah alam di kawasan perbatasan yang kerap menjadi faktor munculnya ketegangan antara ke dua negara tersebut.
"Parahnya lagi, batas-batas wilayah negara masih dibangun di atas persepsi subjektif masing-masing pihak. Di mana titik komprominya terlalu lambat untuk ditemukan dan tidak mengherankan kalau terjadi kasus sengketa pulau Sipadan dan Lagitan," tuturnya.
Terkait dengan permasalahan terhadap konflik kedua negara itu, Laode Ida mengaku telah melakukan deteksi permasalahan terhadap konflik dan keamanan di perbatasan antara Indonesia- Malaysia. Ia menyebutkan soal perjanjian tapal batas yang belum tuntas, tertundanya perjanjian peningkatan nilai perdagangan dalan sosial ekonomi Malindo, dan terbatasnya pos-pos perbatasan yang ditopang oleh rusaknya tanda-tanda fisik perbatasan. Selain itu, masih kuatnya kejahatan lintas batas seperti penebangan pohon ilegal, perdagangan anak dan perempuan, terorisme, penyelundupan dan perampokan.
Lebih Maju
Penyebab lain, menurut Laode Ida, yakni terjadinya dominasi ekonomi dan iptek dan pembangunan ekonomi Malaysia yang harus diakui sekarang ini berada di depan.
"Kalau dulu banyak warga Malaysia menimba ilmu di Indonesia dan pada saat yang sama banyak juga tenaga pengajar Indonesia yang mengabdi di Malaysia. Namun yang terjadi saat ini malah sebaliknya, yakni banyak warga Indonesia belajar di Malaysia dan menjadi TKI di negara jiran itu," ujar Laode dalam seminar yang diprakarsai Fakultas Bahas Universitas Hasanuddin Makassar kerja sama Universitas Kebangsaan Malaysia itu.
Fakta sosial budaya tentang persamaan antara Indonesia dan Malaysia, menurut wakil rakyat asal Sultra itu harus menjadi dasar atau pijakan bersama dalam membangun hubungan yang lebih baik dan harmonis ke depan. "Dunia yang sudah menyatu haruslah disadari sebagai potensi untuk kembali membangun nilai hubungan inklusif dari dua negara yang masyarakatnya serumpun," ujar Laode.
Laode menambahkan, untuk lebih kondusifnya hubungan Indonesia-Malaysia maka hal yang praktis dapat dilakukan, antara lain memperkuat kerja sama, perlu lebih intens membicarakan solusi atas berbagai permasalahan yang dihadapi dan perlu serius meningkatkan kerja sama untuk membangun perbatasan sebagai jembatan emas penghubung ekonomi.