Pura-pura di Bali memiliki dua jenis tanah, yaitu tanah palemahan dan tanah pelaba pura. Tanah-tanah tersebut satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Tanah palemahan merupakan lokasi bangunan pura dan bangunan penunjangnya berdiri, sedangkan tanah pelaba pura adalah tanah yang mendukung kebutuhan pura.
Biasanya, tanah pelaba pura berupa tanah pertanian atau perkebunan yang digarap oleh para penggarap yang ditunjuk oleh desa dan hasil tanah ini yang membiayai kegiatan upacara di pura. Sayangnya, kepastian dan perlindungan hukum tanah pelaba pura ini sering bermasalah, terutama menyangkut kepemilikan oleh desa pakraman dan penetapan batasnya.
Demikian Laporan Kegiatan di Daerah yang dibaca anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Bali I Kadek Arimbawa mewakili tiga rekannya (IGN Kesuma Kelakan, I Nengah Wiratha, dan I Wayan Sudirta). Kadek membacanya di Sidang Paripurna DPD di Gedung Nusantara V Kompleks Parlemen, Senayan—Jakarta, Selasa (6/4) yang dipimpin Ketua DPD Irman Gusman.
Di bidang agama dan budaya, Kadek menyampaikan aspirasi masyarakat desa pakraman, desa tradisional di Bali yang juga disebut desa adat. Desa pakraman di Bali adalah suatu penguyuban hidup dalam wilayah tertentu, di mana kehidupan bersama diatur batasan-batasan berdasarkan ajaran agama Hindu. Mereka memiliki berbagai jenis tanah ulayat serta obyek batasnya.
Kendati desa pakraman mengatur wilayahnya serta mengatur penggunaan tanah ulayatnya sendiri, tapi kepemilikan oleh desa pakraman dan penetapan batasnya belum jelas dari segi hukum. Belum jelas berarti tidak ada bukti kuat yang mendukung kepastian dan perlindungannya. Salah satunya, eksistensi tanah pelaba pura.
Sebagai persekutuan hukum adat, desa pakraman masih berkembang di Bali beriringan dengan desa/kelurahan bentukan Pemerintah. Hingga tahun 2008, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali mendata desa pakraman di Bali berjumlah 1.453 yang rinciannya setiap kabupaten/kota adalah Kabupaten Karangasem berjumlah 188 desa pakraman, Kabupaten Klungkung (106), Kabupaten Bangli (158), Kabupaten Gianyar (271), Kabupaten Badung (120), Kota Denpasar (35), Kabupaten Tabanan (345), Kabupaten Buleleng (66), dan Kabupaten Jembrana (64).
Sebelumnya, penguyuban berdasarkan ajaran agama Hindu disebut desa pakraman, karena di desa itu ajaran agama Hindu diterapkan hingga menjadi tradisi yang menguat. Mpu Kuturan mencatat, yang mendirikan desa pakraman adalah Sang Catur Varna sesuai dengan ajaran kitab suci agama Hindu.
Istilah desa adat dikembalikan ke nama aslinya, yaitu desa pakraman, tahun 2001 berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Dalam perda disebut, desa Pakraman ialah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Jadi, sebuah desa pakraman terdiri atas tiga unsur, yaitu unsur parahyangan (berupa pura atau tempat suci agama Hindu), unsur pawongan (warga desa yang beragama Hindu), dan unsur palemahan (wilayah desa yang berupa karang ayahan desa dan karang guna kaya). “Dalam penataan desa pakraman, antara kahyangan dan desa pakraman tidak terpisahkan,” demikian pendapat keempat anggota DPD asal Bali.
Sebagai subyek hukum, desa pakraman memiliki tiga jenis kepemilikan tanah, yakni tanah pekarangan desa, yaitu tanah yang menjadi tempat tinggal krama desa pakraman; tanah ayahan desa, yaitu tanah yang dikelola secara bersama-sama oleh krama desa pakraman dan hasilnya diberikan kepada kas desa pakraman untuk selanjutnya digunakan dalam pembangunan di desa pakraman setempat; dan tanah pelaba pura kahyangan tiga, yaitu tanah sekitar pura krama desa pakraman yang dikelola oleh pengempon pura.
Kini, hanya eksistensi tanah pelaba pura yang memiliki dasar hukum yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah dan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor SK/556/DJA/1986 tentang Penunjukan Pura Sebagai Badan Hukum Keagamaan Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah.
Belakangan, tanah pelaba pura mengalami beberapa masalah, yaitu ada tanah pelaba pura yang dikuasai oleh perorangan (biasanya para penggarap), sehingga tanah yang seharusnya membiayai kebutuhan pura tidak lagi memberikan penghasilan kepada pura. Sebelum berlaku Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, tanah milik pura hanya hak ulayat yang tidak memiliki bukti tertulis, setelah berlaku pun tanah milik pura belum mendapat kepastian dan perlindungan.
Selain itu, juga disebabkan karena setelah para penggarap menguasai tanah tersebut dalam jangka waktu yang lama, para ahli warisnya menganggap tanah tersebut adalah milik mereka, yang diperkuat oleh ‘pipil’ atau surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT) atas nama penggarap. Berdasarkan ‘pipil’ tersebut mereka mengajukan permohonan hak kepada Kantor Pertanahan.
Persoalannya, Pasal 3 UU 5/1960 mengakui adanya hak ulayat sepanjang hak ulayat itu menurut kenyataannya masih ada. Adanya hak ulayat ini menimbulkan berbagai bentuk kepemilikan hak atas tanah dalam persekutuan. Karena itu, batas suatu persil maupun wilayah menjadi sangat penting.
Di Bali, masyarakat desa adat tidak hanya masih ada tetapi menjadi jantung kehidupan sosial masyarakat yang turun temurun memiliki harta kekayaan berupa tanah, tapi tidak diakui dan tidak diberikan hak ulayatnya oleh Pemerintah. Bagi masyarakat adat Bali, keadaan ini menimbulkan kegamangan berkepanjangan yang seringkali berujung konflik.
Konflik tersebut menyangkut tanah adat, baik antara krama (warga) desa pakraman dan desa pakraman maupun antara desa pakraman dan institusi Pemerintah untuk kepentingan pembangunan. Dalam banyak kasus, Pemerintah seringkali tidak meminta pertimbangan dan persetujuan desa pakraman untuk mengambil alih atau mengubah-fungsikan tanah-tanah pakraman dalam pembangunan pariwisata di Bali.
Masalah pemanfaatan dan pengelolaan tanah ayahan desa dan pekarangan desa juga berpotensi konflik. Apalagi, status hukum dua jenis tanah yang sesungguhnya druwe desa (milik desa) hingga kini tidak jelas. Di samping perpecahan di internal krama desa adat, kasus-kasusnya juga berpeluang menjadi konflik yang terbuka antara desa adat dan krama-nya.