Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mendesak Pemerintah tidak menjadikan ujian nasional (UN) tahun 2010 sebagai syarat kelulusan siswa dan meminta pelaksanaannya dikaji ulang (reevaluasi) secara menyeluruh, mengingat hingga kini pelaksanaannya menimbulkan banyak persoalan.
Demikian diungkapkan Komite III DPD ketika rapat kerja (raker) dengan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh di Gedung DPD lantai 2 Kompleks Parlemen, Senayan—Jakarta, Rabu (2/12). Komite III DPD mempersoalkan pelaksanaan UN, yang berakibat antara lain mengubah fungsi sekolah menjadi bimbingan belajar (bimbel); dan tingkat kelulusannya diklaim sebagai prestasi kepala daerah.
“UN justru persoalannya, karena menjadi penentu kelulusan,” ujar Elviana (Jambi) yang diperkuat Muhammad Afnan Hadikusumo (DI Yogyakarta), IGN Kesuma Kelakan (Bali), Carolina Nubatonis Kondo (Nusa Tenggara Timur), Muhammad S Sahabuddin (Sulawesi Barat), dan Hardi Selamat Hood (Kepulauan Riau).
“UN boleh dilanjutkan tapi tidak menjadi syarat kelulusan utama,” kata Hardi.“Tingkat kelulusan UN dipaksakan. Yang lulusan tinggi menjadi primadona dan menjadi prestasi kepala daerah,” ujar Emma Yohanna (Sumatera Barat). “Marilah kita menerima apa pun hasilnya. Tidak berkonspirasi untuk menaikkan persentase kelulusan,” kata Wahidin Ismail (Papua Barat).
“UN telah mengubah fungsi sekolah menjadi bimbel,” kata Aidil Fitri Syah (Sumatera Selatan). “Anak kelas 6 SD, kelasa 3 SMP, dan kelas 3 SMA di-drill (digenjot) terus karena bimbel.”
Lalu Supardan (Nusa Tenggara Barat) mempertanyakan tujuan pelaksanaan UN. “Mengapa ada 100% tidak lulus, apakah ketentuan Allah? Dengan UN, kegiatan ekstrakurikuler dan pendidikan agama seperti mengaji menjadi terbengkalai. Padahal, bangsa kita membutuhkan orang-orang yang bermoral, beretika, dan berakhlak.”
“Jadi, UN ini adalah sandiwara nasional,” tukas Parlindungan Purba (Sumatera Utara). Ia meminta manifesto pendidikan yang dihasilkan Panitia Khusus (Pansus) Pendidikan DPD dilaksanakan Pemerintah, yang point-nya kita belum memiliki peta permasalahan pendidikan di seluruh Indonesia yang memungkinkan perancangan anggaran (budget design) guna memastikan perwujudan pendidikan yang merata dan bermutu.
Alvius Lomban (Sulawesi Utara) menambahkan, “Kita terlanjur menyebut pendidikan gratis. Istilah pendidikan gratis ini harus dipertanggungjawabkan.”
Menanggapi pernyataan dan pertanyaan pimpinan dan anggota Komite III DPD, Nuh meminta kita jangan lagi memperdebatkan perlu atau tidak perlu UN. Yang diperlukan adalah menciptakan UN yang kredibel sembari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) memperbaiki pelaksanaannya tahun depan. “Bukan berarti UN ditiadakan masalah akan selesai,” tukasnya.
Sulistiyo mengatakan, jangan sampai tujuan UN yang mulia yaitu meningkatkan mutu pendidikan harus mengorbankan sifat-sifat lain yang dibutuhkan anak-anak bangsa, seperti jujur, beriman, bertanggung jawab, dan demokratis. “Hal-hal itu terkontaminasi dengan banyaknya kecurangan yang terjadi saat UN,” paparnya.
2010 UN Terakhir
Komite III DPD mengultimatum Pemerintah, UN tahun 2010 sebagai masa transisi. UN transisi adalah pelaksanaan UN terakhir jika Mendiknas tidak memperbaiki kelalaian dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia kepada yang menjadi korban UN.
Sulistiyo menambahkan, Pemerintah harus memperbaiki kelalaian sesuai Putusan MA dalam perkara nomor 2596K/Pdt/2008. “Pemerintah harus segera mengimplementasikan kebijakan yang berhubungan dengan dampak psikologis dan mental terhadap peserta didik menjelang UN,” ujarnya dalam konferensi pers seusai raker.
Komite III DPD meminta Mendiknas memberikan hasil perbaikan tersebut sebelum pelaksanaan UN tahun 2010 atau sekitar bulan Februari 2010. “Kami berencana meminta kejelasan atas perbaikan yang dilakukan Depdiknas dalam persiapan pelaksanaan UN,” ujar Sulistiyo.
Komite III DPD juga akan melakukan pengawasan atas pelaksanaan UN dan Putusan MA sebagai bagian dari pengawasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).