Kurang baiknya kinerja koperasi selama ini dinilai akibat kesalahan paradigma dalam pengembangan koperasi. Harus disadari, perusahaan maupun koperasi adalah sama-sama entitas bisnis yang terbentuk untuk suatu tujuan bersama. Bedanya, perusahaan adalah kumpulan uang, sementara koperasi adalah kumpulan orang.
"Perusahaan terbentuk karena pemilik modal memiliki tujuan bersama yaitu mengumpulkan uang, sementara koperasi terbentuk karena anggotanya memiliki tujuan bersama," kata anggota Komisi VI DPR Ecky Awal Mucharam dalam Seminar Nasional 'Mencari Format Koperasi Ideal Bagi Pertumbuhan Perekonomian Indonesia' yang diadakan Kelompok Komisi VI Fraksi PKS DPR di Ruang KK II Gedung Nusantara II DPR RI, Rabu (28/9).
Hadir sebagai pembicara lainnya adalah Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, Menteri Koperasi dan UKM Syarief Hasan, Lukman Baga mewakili akademisi, dan dari praktisi BMT Center Awalil Rizki.
Menurut Ecky, koperasi di Indonesia selama ini dikembangkan dengan paradigma sebagai agen pemerintah yaitu untuk menyalurkan program-program pemerintah kepada masyarakat terutama untuk sektor-sektor tertentu yang menyerap banyak tenaga kerja, misalnya pertanian.
"Koperasi yang seharusnya berdiri karena kepentingan bersama anggotanya akhirnya berdiri karena program pemerintah sehingga keberlangsungannya tidak lama. Dengan paradigma pengembangan koperasi yang seperti ini maka seharusnya pemerintah tidak perlu heran jika banyak koperasi yang mati suri dan baru muncul lagi jika ada program bantuan pemerintah," ujar Ecky, prihatin
Sayangnya, lanjut Ecky, RUU Koperasi yang diajukan oleh pemerintah tidak mampu menangkap inti persoalan koperasi saat ini. Sebagian dari isi RUU Koperasi tersebut justru ingin mengubah esensi koperasi menjadi korporasi terutama dengan munculnya istilah baru yang belum pernah ada dalam koperasi sebelumnya, yaitu Saham Koperasi dan Surplus Hasil Usaha. "Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah melihat persoalan koperasi sebagai persoalan modal semata dan kurangnya memperhatikan upaya pencarian keuntungan dalam pengelolaan koperasi," kata politisi PKS ini
Ecky mencontohkan, istilah Sisa Hasil Usaha (SHU) yang dalam RUU tersebut diganti menjadi Surplus Hasil Usaha. Perubahan ini menunjukkan bahwa pemerintah melihat tidak berkembangnya koperasi karena mengabaikan efisiensi usaha yang tercermin dari SHU. Padahal, menurut Ecky, efisiensi bukan tercermin dari surplus koperasi, melainkan dari surplus anggota yaitu efisiensi yang didapatkan anggota dalam mencapai tujuan bersamanya dengan bergabung di koperasi.
"Pemerintah harus memahami bahwa tujuan koperasi bukanlah surplus, melainkan melayani tujuan bersama anggota. Karena SHU pada prinsipnya adalah sisa. Sedangkan surplus yang sesungguhnya seharusnya dinikmati oleh anggota koperasi," jelas Bendahara Umum Fraksi PKS DPR ini.
Untuk itu, lanjut Ecky, PKS berharap RUU Koperasi yang sedang dibahas oleh pemerintah dan DPR mampu mengubah wajah koperasi yang masih lekat dengan citra negatif dan tidak maksimal menggerakkan perekonomian. "Harus ada pemahaman menyeluruh dari Pemerintah mengenai kondisi serta proyeksi peran koperasi di masa depan," pungkasnya.