Adanya kontrak ekspor jangka panjang komoditas migas dan batu bara membuat wacana penghentian ekspor energi menjadi dilematis. Apabila seketika dihentikan, tidak saja penerimaan negara akan berkurang drastis, namun juga persoalan hukum karena pelaku usaha akan dianggap melakukan pelanggaran (default) kontrak.
"Kalau dipandang dari sisi ideal, penghentian ekspor itu bisa dilakukan. Namun tentunya kita harus diingat bahwa hampir 40% penerimaan negara masih bergantung dari sektor energi. Jadi upaya ini harus dilakukan secara bertahap," ujar Ketua Komisi VII DPR Teuku Riefky Harsja, usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dewan Ekonomi Nasional (DEN) di Jakarta, Rabu (20/1).
Pengurangan ekspor secara bertahap menjadi pilihan yang paling masuk akal selain mensyaratkan kontrak kerjasama (KKS) migas dan izin usaha pertambangan (IUP) memprioritaskan pasokan domestik ini.
"Harus didorong supaya kontrak migas dan pertambangan yang baru berorientasi domestik. Kalau untuk yang lama, tentunya harus dihargai kontrak-kontrak yang sudah ada," ujar Riefky.
Senada dengan Riefky, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Darwin Zahedy Saleh menyatakan penghentian impor baru sekedar usulan DEN yang harus dibahas secara mendalam.
"Itu tengah didiskusikan bersama usulan-usulan lainnya. Kita akan tentukan mana yang paling bisa diprioritaskan," ujar Darwin yang juga menjabat sebagai Ketua Harian DEN.
"Pengurangan ekspor hanyalah salah satu upaya pemenuhan pasokan energi nasional. Kita mendorong supaya sektor energi berfokus pada upaya menciptakan kemandirian energi nasional," ujar Riefky.
Menurut Riefky, kemandirian energi salah satunya bisa dilakukan dengan pengembangan energi non fosil, khususnya energi terbarukan.
"Kalau hanya menyeimbangkan sektor pasokan dan permintaan, dalam jangka panjang ketika energi fosil habis, kita akan menghadapi defisit energi lagi," ujar Riefky.
Karena itu, imbuh Riefky, upaya memasyarakatkan peningkatan konsumsi energi non fosil harus berjalan.
"Misalnya targetan bauran energi (energy mix) 5% BBN masih sulit direalisasikan, padahal BBN juga sudah disubsidi seperti halnya BBM," ujar Riefky.
Karenanya, tambah Riefky, tata kelola energi nasional harus diiringi dengan pembenahan mekanisme subsidi energi seperti bbm, listrik, BBN dan LPG 3 kg agar alokasinya benar-benar tepat sasaran," ungkapnya.
Menurut Riefky, kebijakan nasional disektor energi harus diselaraskan secara lintas departemen dan lintas sektoral.
"Di sektor migas, ada beberapa fokus pembenahan mulai dari revisi UU Migas, peningkatan produksi migas dan peningkatan alokasi gas untuk domestik serta pengembangan infrastruktur seperti pipa gas, kilang BBM dan LNG Receiving Terminal," papar Riefky.