Program magang kerja ke Jepang, hasil kerjasama antara Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan International Man Power Japan (IM Japan) telah berlangsung sekitar 20 tahun. Selain pemberangkatan lewat lembaga pemerintah, beberapa pihak swasta pun ikut mengirimkan tenaga-tenaga kerja muda dari Indonesia untuk magang kerja selama 3 tahun.
Sayangnya, program yang baik ini masih menyisakan cukup banyak masalah yang perlu dibenahi pemerintah. Diantaranya adalah persoalan persiapan pra-keberangkatan dan perlindungan pekerja magang di masa pemagangan.
Hal ini ditemukan anggota Komisi IX DPR Ledia Hanifa yang berkesempatan bertatap muka dengan sejumlah peserta magang kerja di Tokyo Sabtu 29 Oktober lalu. Dalam pertemuan yang berlangsung di Sekolah Indonesia Tokyo dan diorganisir oleh Ikatan Pekerja Trainee Indonesia Jepang (IPTIJ) itu banyak peserta mengaku mengalami hambatan kerja karena tidak tahu menahu tentang pekerjaan yang akan dijalani dan tidak memiliki ketrampilan yang memadai untuk pekerjaan yang akan dijalani.
"Mereka tidak mendapat penjelasan yang cukup tentang apa yang akan mereka kerjakan saat magang kerja di Jepang, hanya penjelasan umum. Padahal mereka langsung di tempatkan di perusahaan-perusahaan. Soal ketrampilan kerja pun banyak yang tidak siap. Padahal mereka sudah dilatih dalam masa pemberangkatan sampai sekitar 2 bulan setengah tetapi lebih ke penguasaan bahasa Jepang dan persiapan fisik sementara ketrampilan kerja nyatanya tidak memadai untuk langsung terjun bekerja," ujar Ledia dalam rilisnya yang diterima Jurnalparlemen.com, Rabu (2/11).
Tidak hanya itu perlindungan bagi para peserta program magang selama bekerja di Jepang pun ternyata sangat minimalis. Hal ini terungkap dari keluhan-keluhan para pekerja magang yang setelah sampai di Jepang banyak ditempatkan bekerja pada tempat dan situasi yang cukup berbahaya.
Anggota dewan dari F-PKS ini menceritakan bagaimana peserta magang langsung ditempatkan bekerja, seperti di tempat pengecoran, pengelasan, di pabrik perikanan, pertanian dan lainnya mulai dari perusahaan skala besar, menengah sampai kecil. Rupanya tak sedikit dari peserta magang yang ternyata harus bekerja di tempat yang penuh limbah atau di tempat bersuhu 400 derajat Celcius seperti di tempat peleburan biji besi, di tempat pengelasan, tanpa perlindungan cukup. Mereka juga kerap harus mengangkuti beban-beban sangat berat dan bekerja diluar jam kerja tanpa hitungan lembur.
"Sebagai pekerja magang mereka memang hanya mengikuti saja akan ditempatkan dimana dan mau mengerjakan apa, tetapi tetap saja hak-hak mereka untuk bekerja secara aman, nyaman dan sesuai tata aturan ketenagakerjaan harus dipenuhi," tegas Ledia
Sementara itu, dilihat dari pihak yang memberangkatkan, mereka yang diberangkatkan oleh pihak swasta ternyata jauh lebih rentan mengalami masalah perlindungan dalam pekerjaan. Persoalan-persoalan yang muncul terkait masalah pekerjaan selama magang lebih banyak muncul dan tidak teradvokasi dengan baik.
Karena itu, Ledia mengingatkan pemerintah untuk melakukan evaluasi dan perbaikan menyeluruh pada program magang kerja yang sesungguhnya sangat baik untuk pengembangan SDM bangsa ini. Ketrampilan kerja dan informasi mengenai tempat dan jenis pekerjaan yang akan dilakukan harus benar-benar diberikan secara jelas, lengkap dan memadai sebelum berangkat.
Tak cukup itu, kondisi tempat, jenis pekerjaan dan kewajiban kerja yang diterima para peserta magang juga harus terus dipantau selama 3 tahun bekerja di negeri orang. Sehingga masalah-masalah yang timbul di tengah masa magang kerja bisa segera diadvokasi dan diatasi.