Rencana pendirian Kantor Pelayanan Pajak Migas dan Pertambangan masih terkendala, karena belum keluarnya izin dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. Instansi yang akan melakukan pengawasan pembayaran pajak perusahaan Migas dan Pertambangan ini pun belum bisa beroperasi.
Menurut anggota Komisi VII DPR RI Sohibul Iman, instansi yang khusus melakukan pengawasan pembayaran pajak perusahaan Migas dan Pertambangan mutlak diperlukan. Sehingga tidak terjadi lagi masalah selisih perhitungan kewajiban PPh Migas dan kurang bayar pajak Migas seperti beberapa waktu lalu.
“Kala itu selisih perhitungan kewajiban PPh Migas sebesar Rp 1,25 triliun, dan kekurangan bayar PPh Migas mencapai Rp 2,6 triliun,” ujar Sohibul dalam keterangan persnya yang diterima Jurnalparlemen.com Minggu (6/11)
Agar tidak terjadi lagi dispute antara penerapan tarif PPh Migas berdasarkan UU No.36/2008 tentang PPh Pasal 26 dengan perjanjian pajak (Tax Treaty), Sohibul mengatakan, instansi tersebut harus diberi kewenangan yang jelas untuk merekonsiliasi selisih kewajiban PPh Migas.
Sohibul yang juga anggota Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini menambahkan, dispute PPh pasal 26 dan Tax Treaty tersebut berpotensi terulang setiap tahun dan akan menjadi kerugian negara.
“BPKP juga menyebutkan masih lemahnya koordinasi antarlembaga pemerintah yang bertanggungjawab terhadap masalah perpajakan Migas dan Pertambangan ini,” jelasnya.
Karena itu, Politisi PKS ini mendesak Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan lembaga terkait untuk mempercepat proses pendirian Kantor Pelayanan Pajak Migas dan Pertambangan ini, agar segera dapat dioperasikan.
“Supaya penerimaan pajak Migas dan Pertambangan bisa lebih optimal,” pungkasnya.end