Sinkronisasi pasal-pasal dalam UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) pascarapat paripurna pengesahan semakin membuktikan betapa “amburadul"-nya legislasi di negeri ini. Fenomena seperti ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Oleh karena itu, Sinar Harapan menurunkan laporan khusus (lapsus) untuk menyoroti hal ini.
“Apakah RUU BPJS ini bisa disahkan menjadi undang-undang (UU)?” tanya Wakil Ketua DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Pramono Anung, di penghujung Oktober lalu. Seluruh anggota DPR yang ada di ruang itu pun menjawab dengan serentak, “Setuju.”
Usai pengesahan, Pramono juga menyebut bahwa UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) merupakan bekal bagi anggota DPR untuk masuk "surga". UU BPJS sangat penting bagi kehidupan rakyat banyak. "Semoga dengan disahkannya UU ini, akan menjadi tiket masuk ‘surga’," ujarnya.
Di luar gedung DPR, anggota PDIP Ribka Tjiptaning dan Rieke Diah Pitaloka yang paling getol mendesak pengesahan UU BPJS menemui ratusan buruh. Mereka mengatakan, pengesahan UU BPJS merupakan kemenangan rakyat.
Namun, beberapa hari kemudian terkuak bahwa UU BPJS yang disahkan di rapat paripurna masih belum selesai pembahasannya. Adalah anggota DPR dari Fraksi Golongan Karya (Golkar) Ferdiansyah yang mengungkapkan keganjilan dalam pengesahan RUU itu menjadi UU.
Menurutnya, proses pembahasan tidak prosedural. Panitia kerja (panja) belum melapor ke pleno panitia khusus (panssus). Selain itu, bab penjelasan belum dibahas. Sinkronisasi terhadap bab, pasal, dan ayat juga belum dilakukan. Bahkan, pendapat mini fraksi juga belum disampaikan sehingga belum ada naskah RUU yang final.
"Prosedur uji publik RUU BPJS ini juga belum digelar. Pengesahan UU bukan persoalan keterbatasan waktu, tapi menyangkut kebenaran substansi dan dampaknya yang luas," katanya.
Uniknya, naskah RUU BPJS tidak ada di tangan anggota ketika rapat paripurna pengesahan. Akibatnya, anggota sidang tidak tahu apa yang sebenarnya disahkan. "Oleh karena itu Pak Agus Marto juga mengatakan dalam sidang itu, bahwa pemerintah tidak bisa menandatangani karena tidak ada naskah RUU-nya. Ini memang keganjilan," katanya.
Ferdiansyah mengakui bahwa hingga kini memang belum ada penandatanganan persetujuan RUU tentang BPJS menjadi UU oleh pemerintah dan DPR karena masih harus menyelesaikan prosedur legislasi yang berlaku. “Kami masih harus merapikan rumusan yang disepakati paripurna, menyelesaikan bab penjelasan, bab peralihan, dan melakukan sinkronisasi antarpasal serta bab dalam undang-undang tersebut,” katanya.
Setelah disahkan menjadi UU, pemerintah dan DPR masih melakukan sinkronisasi pasal, bab penjelasan, maupun ayat-ayat. Sinkronisasi itu dilakukan di Hotel Aryaduta pada 3-8 Oktober 2011.
Cacat Prosedural
Melihat fakta-fakta itu, berbagai pihak kini akhirnya meragukan keabsahan UU tersebut. Ini karena secara prosedural ketatanegaraan, UU tersebut mengandung kecacatan. Apalagi, pemerintah dan DPR belum menandatangani UU itu. Tak jelas keputusan paripurna kemarin, apakah disetujui sebagian atau seluruhnya.
Faktanya, UU itu belum rampung. Kesalahan prosedural ini perlu segera diuji di Mahkamah Konstitusi," kata pengamat tata negara, Irman Putra Sidin.
Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Ronald Rofiandri, mengingatkan bahwa soal keputusan paripurna DPR sudah diatur dalam Pasal 69 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Pasal 151 UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3); dan Pasal 150 Peraturan DPR No 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib.
“Jadi, jika setelah pembicaraan Tingkat II atau pengambilan keputusan pada Rapat Paripurna DPR masih dilakukan proses penyelesaian bagian penjelasan hingga sinkronisasi terhadap keseluruhan materi dan rumusan tidaklah lazim dan patut dipertanyakan,” katanya.
Ahli tata negara, Margarito Kamis, berpendapat senada. Menurutnya, dengan adanya skandal legislasi seperti ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa dikatakan melanggar hukum jika tetap menandatangani UU BPJS. Presiden, katanya, bisa memikul tanggung jawab secara hukum atas perbuatan menteri-menterinya tersebut.
“Presiden melanggar hukum jika menandatangani. Ini karena Presiden sudah tahu bahwa prosedur pembentukan UU salah. Menteri-menteri yang ikut membahas UU ini bertindak untuk dan atas nama Presiden. Jadi Presidenlah yang memikul tanggung jawab konstitusional,” katanya.
UU BPJS sejak awal memang mengalami perdebatan yang sangat panjang dan menimbulkan pro kontra di masyarakat. Pemerintah dan DPR membentuk opini “dengan UU BPJS” rakyat akan mendapat jaminan sosial. Namun, sebagian rakyat menilai sebaliknya, “Ada udang di balik batu” dalam UU itu.
Kedua UU itu lahir dari semangat liberalisasi yang difasilitasi oleh ASEAN Development Bank (ADB). Sejak 2002, ADB telah membiayai pinjaman sebesar US$ 250 juta (Rp 2,5 triliun) untuk mendukung program reformasi jaminan sosial di Indonesia. Dana tersebutlah yang dipakai untuk membuat UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan RUU BJPS yang telah diputuskan untuk menarik iuran dari masyarakat, buruh, dan prajurit. Sebagai tambahan, ADB menyediakan US$ 1 juta (Rp 10 miliar) untuk technnical assistance dalam studi fisibilitas untuk reformasi sistem jaminan sosial dalam rangka restrukturisasi sistem asuransi lewat UU SJSN dan BPJS.
Terbukti UU ini menerapkan wajib iuran bagi seluruh warga negara. Besarannya akan ditentukan melalui peraturan pemerintah. Orang miskin tidak lagi gratis mendapatkan pelayanan kesehatan. Sesuai UU SJSN, orang miskin hanya ditanggung premi pertamanya. Di sana ada co-sharing dalam pelayanan kesehatan.
“Artinya, bukan jaminan sosial, tapi rakyat disuruh menjamin diri sendiri,” kata peneliti Institute for Global Justice (IGJ), Salamuddin Daeng. Menurut pengamat ekonomi kerakyatan dari Universitas Gadjah Mada, Poppy Ismalina, aturan ini sangat kejam karena daya beli rakyat sepanjang 12 tahun terakhir hanya naik sebesar Rp 40.000. Itu pun untuk 22 komoditas. Di sisi lain, mayoritas tenaga kerja produktif hanya tamat sekolah dasar (SD). Bukannya menyiapkan “tiket" masuk "surga", tetapi malah membawa rakyat “masuk neraka”.
Presiden melanggar hukum jika menandatangani. Ini karena Presiden sudah tahu bahwa prosedur pembentukan UU salah.