"Intelijen siapa?
Intelijen saya yang saya percayai, ya, hanya BIN."
Politikus Partai Keadilan Sejahtera, Hidayat Nur Wahid, mengatakan seharusnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengetahui rencana Kongres Rakyat Papua III, yang berujung pada proklamasi Negara Federasi Papua Barat pada 19 Oktober lalu.
“Kalau melihat alur kerja BIN, seharusnya BIN memberikan informasi itu kepada Presiden,“kata Hidayat, yang juga mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, ketika dihubungi kemarin.
Sedangkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto menjadi orang nomor dua yang mengetahuinya setelah Presiden. “Kemudian Presiden mengajak Menko Polkam menentukan langkah-langkah antisipasi dan penegakan hukum.” Anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat ini menerangkan, komisinya mengetahui informasi bakal ada kerawanan di Papua dari Kepala Badan Intelijen Negara kala itu, Sutanto, jauh sebelum kejadian.
Hidayat menyesalkan kekerasan di Papua dan menilai mestinya hal itu bisa dicegah.
Rekannya sekomisi, Helmy Fauzi, juga sependapat. “Sebelum kejadian itu, BIN sudah mengatakan akan terjadi eskalasi konflik di Papua karena akan ada kongres itu,” ucap politikus PDI Perjuangan ini. Ia pun yakin Djoko juga mengetahuinya.
Sutanto belum bisa dimintai penjelasan karena teleponnya belum bisa dihu
bungi. Sedangkan juru bicara kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, mengatakan tak bisa mengomentari dugaan itu.
Menurut dia, “Tak boleh ada pembiaran. Pemerintah bertugas memastikan segala sesuatu berjalan aman, tertib, lancar.” Djoko Suyanto membantah anggapan bahwa BIN mengetahui rencana kongres sekitar tiga bulan sebelumnya. “Intelijen siapa? Intelijen saya yang saya percayai, ya, hanya BIN.
Saya barusan ketemu Kepala BIN dan tak ada cerita tentang itu,” katanya di Istana Negara, Jakarta, kemarin. Ia berkeberatan pasukan TNI dan Polri dianggap melanggar hak asasi, sebab mereka mengejar pelaku tindak kriminal.“Kalau aparat ditembaki, penduduk ditembaki, kok tak ada yang bicara tentang masalah HAM?”katanya.
Pembubaran Kongres Rakyat Papua III di Abepura pa
da 16-19 Oktober lalu mengakibatkan tiga orang tewas dan enam orang ditangkap dengan tuduhan makar. Para tersangka antara lain Forkorus Yaboisembut, Ketua Dewan Adat Papua, yang diangkat sebagai presiden; dan Edison Waromi sebagai perdana menteri. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai aparat di lapangan menyalahi prosedur tetap penanganan serta melanggar hak asasi.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Muridan Satrio Widjojo, yakin pemerintah pusat mengetahui rencana kongres dan merestui pembubaran paksa kongres itu. Menurut dia, kabar akan terjadi gerakan makar sudah menyebar luas baik di Papua maupun di Jakarta beberapa bulannya. “Saya dengar dari beberapa pejabat di Jakarta,”ujarnya kemarin.