Meski dinilai bersalah dalam menjalankan tugasnya, namun sejatinya, melaporkan atau menggungat petugas Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL) bukanlah hal yang tepat. Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang seharusnya digugat sebagai corporasi pemilik kebijakan.
Hal itu diungkapkan Direktur Lembaga Advokasi Perlindungan Konsumen (LAPK), Farid Wajdi. Dia menyebutkan, dilihat dalam posisi objektif, petugas P2TL menjalankan tugasnya adalah memastikan tidak ada penyalahgunaan pemakaian tenaga listrik oleh pelanggan. "Jadi, dalam menjalankan tugasnya, petugas P2TL harusnya ada proteksi karena ada perintah, apakah itu jabatan, Undang-Undang, atau surat tugas dari atasan. Proteksi itu sebagai imunitas dalam menjalankan tugasnya itu," katanya kepada Waspada Online, hari ini.
Memang, lanjut Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadyah Sumatera Utara (UMSU) itu, banyak sekali terjadi pelanggaran dalam standar operasional prosedur (SOP) P2TL. Namun, PLN seharusnya melakukan pengawasan internal untuk menghindari terjadinya tindak kriminalitas dalam implementasinya di lapangan. "Makanya kita minta kemarin moratorium, yang diperbaiki dua-duanya, petugas dan pelanggan sama-sama diedukasi, tapi mereka (PLN,red) tidak mau," ungkapnya.
Farid menyebutkan, masyarakat memang dirugikan dalam hal ini karena tidak ada sosialisasi sebelumnya. Tapi di sisi lain, petugas juga memiliki dasar hukum dalam menjalankan tugasnya. "Jadi dua-duanya ini sebenarnya tumbal. Makanya, harusnya bukan petugasnya yang digugat, tapi corporasinya," jelasnya.
Dia menjelaskan, dalam konstruksi hukum pidana, itu merupakan pertanggungjawaban corporasi. "Kalau saya katakan, ini namanya memukul lalat dengan buldozer, tidak pas," ujarnya. Menurut Farid, akan lebih baik jika masalah P2TL dimoratorium terlebih dahulu. Sejalan dengan itu, kata Farid, PLN harus membuat tim klarifikasi yang akan melakukan klarifikasi sehingga apa yang menjadi hak-hak pelanggan dikembalikan jika memang terjadi kesalahan dalam SOP P2TL.
Apalagi, lanjut Farid, dalam kasus ini, petugas P2TL hanya dijerat dengan "pasal sampah", yakni pasal 551 mengenai dilarang masuk tanpa izin yang hukumannya maksimal hanya tiga bulan.
Ketua Fraksi PDIP Sumut Budiman Nadapdap di Medan, hari ini mengatakan, pihaknya menemukan adanya indikasi kegiatan yang mengambil keuntungan pribadi dari pelaksanaan P2TL. Hal itu dapat dilihat dari penetapan sanksi berupa pembayaran denda dalam jumlah yang cukup besar atas suatu kesalahan yang tidak semestinya. Ia mencontohkan tuduhan terhadap masyarakat sebagai pelaku pencurian arus listrik hanya karena meterannya tidak berjalan secara normal.
Padahal, dalam buku petunjuk yang dikeluarkan PLN, meteran listrik yang berada di rumah masyarakat tersebut harus dikalibrasi atau ditera ulang secara periodik antara lima hingga 15 tahun agar tidak menimbulkan peluang kesalahan. Jika tidak dikalibrasi secara periodik, akan menimbulkan kondisi yang merugikan seperti putaran meteran listrik yang menjadi lambat disebabkan bantalan piringannya menjadi aus. Namun di sisi lain, kondisi itu juga menyebabkan putaran meteran listrik menjadi cepat karena daya tarik magnet yang berfungsi sebagai rem dalam meteran tersebut mulai berkurang.
Meski kewajiban kalibrasi itu telah dicantumkan dalam buku petunjuk PLN, tetapi hampir tidak ada petugas Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut yang merealisasikannya.
Ironisnya, kata dia, petugas P2TL selalu menyalahkan masyarakat dan menuduhnya telah merusak meteran listrik agar dapat mencuri arus. "Karena itu, kami akan menggugatnya secara hukum," tegasnya.