Anggota Komisi IX DPR RI Herlini Amran memberikan apresiasi kepada delegasi Indonesia di PBB yang baru-baru ini telah berhasil menggolkan Resolusi PBB berjudul 'Violence Against Women Migrant Workers' pada Sidang Komite III Majelis Umum PBB ke-66 di Markas Besar PBB, New York.
Menurut legislator dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut, resolusi yang diprakarsai Indonesia bersama dengan Filipina ini bertujuan meningkatkan upaya perlindungan terhadap para pekerja migran perempuan dari berbagai tindak kekerasan, perlakuan yang tidak layak dan tidak manusiawi, eksploitasi maupun diskriminasi di negara tempat mereka bekerja.
"Sehingga jelas resolusi ini memiliki arti sangat penting dalam memberikan perlindungan terhadap pekerja migran perempuan yang jumlahnya mencapai jutaan jiwa," ujar Herlini dalam rilis yang diterima Jurnalparlemen.com, Rabu (30/11).
Sementara itu, menurut Deputi Wakil Tetap RI di PBB, Dubes Yusra Khan, salah satu isi resolusi adalah mendesak negara asal, transit dan tujuan pekerja migran perempuan agar meratifikasi berbagai instrumen HAM internasional dan konvensi lainnya yang relevan terhadap isu migran. Salah satu konvensi terkini yang relevan dengan perlindungan pekerja migran adalah Konvensi ILO Nomor 189 tentang Decent Work for Domestic Workers yang diadopsi tahun 2010.
"Resolusi telah meminta agar PBB melalui badan UN-Women untuk mendukung upaya negara anggota dalam meningkatkan perlindungan terhadap pekerja migran perempuan, baik pada tataran domestik maupun melalui kerja sama bilateral, kawasan, dan internasional. Pada tahun 2013, pembahasan resolusi akan difokuskan pada masalah access to justice bagi pekerja migran perempuan yang menjadi korban kekerasan," papar Khan.
Karena itu, lanjut Herlini, ke depan pemerintah perlu melakukan langkah-langkah strategis untuk menindaklanjuti resolusi ini agar efektif dalam menjawab berbagai permasalahan yang ada. "Kami melihat kasus-kasus terhadap tenaga kerja perempuan seringkali terjadi karena memang kita sangat lemah dari berbagai sisi, mulai dari data apalagi dalam melakukan advokasi dan perlindungan. Data Migrant Care menyebutkan sekitar 70 persen dari sekitar enam juta TKI adalah perempuan sehingga yang paling banyak mengalami kekerasan adalah tenaga kerja perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga," ujar Herlini.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian pemerintah, lanjut Herlini, adalah pembinaan. "Para tenaga kerja perempuan sudah seharusnya mendapatkan pembinaan. Di sinilah letak pentingnya koordinasi dan sinergi antar Kementerian dan lembaga seperti Kemenakertrans, BNP2TKI, Kementerian Agama, Kementerian Sosial, dan lain-lain," papar Herlini.