Pemerintah pusat diminta membagi dana hasil minyak dan gas bumi secara adil. Selama ini, ketentuan pembagian hasil sesuai Undang-Undang No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dinilai tidak mencerminkan rasa keadilan, khususnya daerah penghasil sumber daya alam (SDA).
’’Kami minta dananya dibagi sama besar,’’ kata Ketua Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu (MRKTB) Abraham Ingan dalam sidang uji materi UU itu di gedung Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin (22/12).
Uji materi UU tersebut diajukan oleh Sundy Ingan (kepala desa Sungai Bawang), Andu (petani dari Desa Badak Baru), Luther Kombong (anggota DPD RI), H Awang Ferdian Hidayat (anggota DPD), Muslihuddin Abdurrasyid (anggota DPD), dan Bambang Susilo (anggota DPD) yang tergabung dalam Majelis Rakyat Kalimanatan Bersatu (MRKTB).
Para pemohon menilai prosentase penerimaan pertambangan minyak bumi dan gas bumi yang dihasilkan itu tidak adil, tidak memberikan kepastian hukum, bersifat diskriminatif, dan tidak mencerminkan penggunaan kekayaan alam sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Untuk itu, pemohon meminta MK menyatakan frasa ’’84,5 persen untuk pemerintah dan 15,5 persen untuk daerah’’ dan frasa ’’69,5 persen untuk pemerintah dan 30,5 persen untuk daerah’’ dalam Pasal 14 huruf e dan f UU Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah bertentangan Pasal 1 ayat (1), Pasal 18A ayat (2), Pasal 33 UUD 1945. Ketentuan itu juga tak punya kekuatan hukum mengikat.
Dalam huruf e pasal itu menyatakan, komposisi bagi hasil untuk minyak bumi sebesar 84,5 persen untuk pemerintah pusat dan 15,5 persen untuk daerah. Sementara huruf f menyatakan, dana bagi hasil untuk gas bumi sebesar 69,5 persen untuk pemerintah pusat dan 30,5 persen untuk daerah. Aturan ini, menurut Abraham, dinilai tidak mencerminkan prinsip keadilan bagi daerah penghasil sumber daya alam.
Abraham menegaskan, ketidakadilan yang dirasakan masyarakat Kalimantan Timur adalah dengan komposisi Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang menentukan prosentase dana bagi hasil minyak bumi sebesar 84,5 persen untuk pemerintah dan 15,5 persen untuk daerah dan gas bumi 69,5 persen untuk pemerintah dan 30,5 persen untuk daerah.
’’Dengan ketentuan itu, hasil eksplorasi minyak dan gas bumi tidak bisa dirasakan langsung oleh masyarakat setempat. Lagipula, ketentuan tersebut tidak memiliki kajian ilmiah,’’ tandasnya.
Pemohon lainnya, Bambang Susilo menyatakan, meskipun Kalimantan Timur memiliki SDA melimpah, masyarakatnya tetap miskin. Hal ini dikarenakan hasil eksplorasi sumber daya alam lebih banyak dikelola pemerintah pusat. ’’Seharusnya daerah mendapat porsi lebih banyak,’’ kata anggota DPD Provinsi Kalimantan Timur itu kepada majelis hakim yang dipimpin Mahfud MD itu.
Ia mengaku, dengan aturan tersebut, pihaknya tidak bisa memperjuangkan kepentingan rakyat yang diwakilinya di parlemen. Padahal, daerah yang diwakilinya itu bisa jauh lebih berkembang jika bisa mengoptimalkan ppengahasilan dari kekayaan SMD tersebut.
’’Minimnya dana bagi hasil minyak dan gas bumi membuat Kalimantan Timur tak bisa mengembangkan potensi ekonomi dengan maksimal,’’ tambahnya.
Sementara itu, Ketua Komite IV DPD RI Cholid Mahmud menyimpulkan, bahwa pengelolaan minyak dan gas (migas) yang berkeadilan dan memihak kepentingan nasional belum berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat di daerah penghasil. Perundang-undangan sektor migas belum sinkron dengan perundang-undangan otonomi daerah, yakni UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
’’Penerapan UU 33/2004 belum semestinya mampu menerapkan kebijakan pemerintah pusat yang menjatah dana bagi hasil belum sepenuhnya mengakomodasi keinginan daerah-daerah penghasil migas. Pengelolaan migas tidak transparan karena tidak memberi akses kepada daerah penghasil untuk memperoleh data cost recovery, biaya produksi, dan jumlah produksi migas,’’ paparnya.
Menurutnya, bagi DPD hal ini sangat penting dikedepankan dan diperlukan strategi dan aksi nasional yang bisa memperhatikan kepentingan daerah yang berkeadilan dalam pengaturan migas dan implementasinya, terutama pengaturan dana bagi hasil (DBH) dan lifting migas. ’’Daerah-daerah penghasil migas menjadi bagian pengontrol penyerahan pendapatan dari kontraktor migas ke pemerintah pusat sehingga perhitungan DBH dan lifting migas melibatkan pemerintah daerah yang selama ini hanya sebagai penerima saja,’’ ujarnya.