Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Y Thohari mengatakan, tahun 2012 adalah tahun pancaroba di bidang politik dan ekonomi akibat krisis ekonomi global terutama di Eropa dan Amerika Serikat. Dalam kaitan ini, MPR menyampaikan seruan kepada penyelenggara negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, dan pemerintah daerah untuk kembali ke konstitusi.
"Karena itu konstitusi haruslah dibaca secara utuh dan luas, bukan hanya secara tekstual pasal per pasal, melainkan ruhnya konstitusi. Yaitu dasar-dasar kenegaraan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, Pancasila, dan tujuan dibentuknya negara ini. Seruan ini relevan dan urgen karena kita sudah terlalu jauh mengembara meninggalkan konstitusi dan konstitusionalisme," ujar Hajriyanto dalam rilisnya, Selasa (3/1).
Hajriyanto pun mengingatkan bahwa atas nama masa transisi politik dan demokrasi, komponen bangsa ini telah mengabaikan konstitusi dan atau Empat Pilar Negara. Kini, di tahun 2012 ini, kita tidak boleh lagi menyebut era ini sebagai masa transisi, melainkan masa konsolidasi sistem politik dan kehidupan demokrasi berdasarkan konstitusi.
"Politik kita sudah terlalu jauh meninggalkan kearifan lokal (local wisdom) sebagai budaya bangsa yang kemudian dirumuskan dalam Pancasila. Apalagi pembangunan perekonomian kita. Asas ekonomi kekeluargaan dan kebersamaan dalam semangat kerakyatan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 33 karena terperdaya oleh tekanan globalisasi telah digantikan dengan ekonomi pasar yang mendewa-dewakan pertumbuhan tanpa peduli pada kualitas pertumbuhan (the quality of growth) yang berbasiskan asas pemerataan," tegasnya.
Lebih lanjut Hajriyanto mengatakan, ideologi pertumbuhan dimana yang penting ekonomi tumbuh, tak peduli pertumbuhan itu karena apa dan menguntungkan siapa saja, sungguh telah mencederai nilai-nilai keadilan sosial yang menjadi cita-cita bangsa sekaligus Sila Kelima Pancasila. "Sulit untuk mengatakan bahwa pembangunan ekonomi kita dewasa ini pro-poor," ujar politisi Golkar ini.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi memang tinggi, bahkan termasuk salah satu yang tertinggi di dunia. Namun, pertumbuhan itu, di antaranya yang 49 persen disumbangkan oleh penjualan hasil tambang yang eksplorasinya berpotensi merusak lingkungan. Belum lagi menjadi faktor penyebab terbesar sengketa lahan pertambangan dengan rakyat penduduk tradisional tanah-tanah tersebut. Yang terakhir ini tampak dalam kasus Mesuji Sumatera Selatan dan Bima NTB. Sulit untuk mengatakan bahwa pembangunan ekonomi kita dewasa ini pro-people dan pro-environment.
"Dalam konteks dan perspektif ini saya mengusulkan segera dilakukannya dua langkah strategis. Pertama, konsolidasi politik dengan menekankan langkah pribumisasi demokrasi. Kedua, konsolidasi perekonomian nasional dengan melakukan kontekstualisasi perekonomian pasar bebas," tegasnya.
Hajriyanto menambahkan, pribumisasi demokrasi dan kontekstualisasi pasar bebas harus berakar dan sekaligus merupakan perkembangan dari demokrasi asli Indonesia dan semangat kekeluargaan berdasarkan ekonomi kerakyatan. "Marilah kembali ke konstitusi, back to the constitution," serunya.