Penertiban pedagang kaki lima (PKL) dan parkir liar dan kegiatan pedagang Tanah Abang yang melanggar ketertiban umum di DKI Jakarta harus dilakukan secara konsisten. Aksi penertiban jangan cuma digalakkan menjelang atau saat bulan Ramadhan.
Namun setelah momen itu berlalu, terjadi pembiaran, bahkan memanfaatkan PKL sebagai ajang mencari keuntungan oleh oknum aparat. Akibatnya, makin banyak PKL dan masyarakat yang melanggar larangan. Di tempat-tempat tertentu di DKI PKL pun menjamur.
Salah satu contohnya ya di Tanah Abang. Mereka berjualan di atas trotoar, pinggir jalan bahkan ada yang sampai hampir ke tengah jalan. Sehingga hak-hak masyarakat memanfaatkan fasilitas umum menjadi terrampas.
Program penertiban memang perlu ditegakkan. Namun sayang, aksi pelanggaran yang mereka lakukan terkesan malah justru didukung oleh petugas. Karenanya, banyak pedagang menilai, aksi penertiban itu terkesan hanya proyek semata, yang tidak dilanjutkan secara konsisten setelah selesai program itu.
Anggota Komisi A (bidang Pemerintahan) DPRD DKI Ruddin Akbar Lubis mengatakan, pihaknya mendukung penertiban PKL, asalkan petugas-petugas ini melakukannya dengan profesional. Artinya, tidak hanya di waktu-waktu tertentu mereka melakukan penertiban, tapi setelah itu, mereka justru mengambil untung dari para pedagang-pedagang itu.
“Kita dukung kegiatan penertiban PKL, parkir liar, dan pelanggar ketertiban umum menjelang Ramadhan. Hanya saja, Satpol PP jangan cuma mampu menertibkan, tetapi harus bisa melakukan pencegahan pelanggaran perda ini,” katanya.
Seharusnya, lanjut politisi Golkar ini, Pemprov DKI Jakarta, dalam hal ini Satpol PP, secara konsisten mampu melakukan penertiban para pelanggar perda.
“Kita berharap Satpol PP sebagai ujung tombak pengawal perda dan pergub berkinerja lebih profesional, mengedepankan pendekatan persuasif dalam penertiban PKL. Namun, jangan cuma menertibkan, tetapi juga harus mampu memberi solusi, agar mereka bisa berdagang di tempat legal,” sarannya.
Soalnya, jika solusi ini tidak kunjung ada, para PKL ini akan terus membandel. Apalagi kalau mereka sudah merasa membayar uang “upeti” kepada oknum tertentu. “Realita di lapangan, banyak oknum yang mengambil keuntungan dari PKL, parkir liar, dan lain-lain, sehingga mereka sulit ditertibkan karena mereka merasa membayar retribusi,” ujar Lubis.