Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta seharusnya ikut mengelola pengoperasian kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek. Pemprov DKI bisa membantu investasi pengadaan sarana KRL.
Calon gubernur (cagub) DKI Jakarta dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid mengatakan, KRL Jabodetabek merupakan satu-satunya angkutan massal andalan warga komuter. Hanya, tingginya permintaan tidak disertai dengan pelayanan yang memadai. Saat ini, lintasan KRL Jabodetabek hanya dilayani 400 kereta dengan daya angkut 600.000 penumpang setiap hari. Jumlah ini masih belum ideal, sehingga warga komuter banyak yang menggunakan kendaraan pribadi. PT KAI sendiri ditargetkan mampu mengangkut 1,2 juta penumpang per hari pada 2019.
Menurut Hidayat, untuk merealisasikan target tersebut dibutuhkan 1.440 kereta. Dengan demikian, butuh tambahan 940 kereta dengan biaya investasi sekitar Rp1 triliun. “Ini kesempatan bagi Pemprov DKI Jakarta untuk turut serta dalam pengelolaan KRL dengan berpartisipasi dalam investasi, mengingat pemerintah pusat mengalami keterbatasan untuk melakukan investasi,” kata Hidayat ketika hendak menaiki KRL Commuter Line di Stasiun Kalibata, Jakarta Selatan, kemarin.
Mantan ketua MPR ini menambahkan, keterlibatan Pemprov DKI Jakarta dalam investasi dan manajemen operasional sangat wajar. Alasannya, banyak warga Jakarta maupun komuter yang menggunakan KRL untuk bekerja dan keperluan lainnya. “Rutenya pun banyak melintas di wilayah DKI Jakarta,” urainya. Dengan keterlibatan Pemprov DKI sebagai operator maka tidak ada lagi monopoli pengelolaan KRL, sehingga nantinya terjadi persaingan yang berujung pada peningkatan kualitas pelayanan. Dia mengusulkan, Pemprov DKI diberi kewenangan menjadi operator pada lintasan yang hanya melayani kawasan Jakarta, seperti Tanjung Priok–Jakarta Kota, dan Manggarai–Jatinegara.
“Dua rute itu hanya berputar di wilayah Jakarta, sehingga sudah selayaknya untuk kedua rute ini dikelola oleh Pemprov DKI untuk memperbaiki kualitas pelayanan,” ujarnya. Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) Azaz Tigor Nainggolan sangat mendukung usulan tersebut. Menurut dia, semua aset dan operasional alat angkutan itu berada di wilayah DKI. Pengelolaan KRL Jabodetabek ini sejalan dengan pengelolaan operasional angkutan massal lainnya, seperti Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta dan PT MRT Jakarta.
“Kini tinggal kereta api yang belum diserahkan ke Pemprov DKI Jakarta,” ungkap Azaz Tigor. Azas Tigor menambahkan, dalam UU Nomor 23/2007 tentang Perkeretaapian dimungkinkan adanya operator lain sehingga tidak ada lagi monopoli. Dia mengungkapkan, di kota besar negara lain seperti Tokyo, Singapura, Malaysia, Bangkok, pengelolaan transportasi menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
Kepala Humas PT KAI Sugeng Priyono menyatakan, keterlibatan Pemprov DKI Jakarta dalam pengelolaan KRL Jabodetabek bisa dalam bentuk kerja sama bukan pengambil alihan. Berdasarkan amanat dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2011 tentang penugasan kepada PT KAI (persero) untuk menyelenggarakan sarana dan prasarana Kereta Api Bandara Soekarno-Hatta dan jalur lingkar Jabodetabek, pengelolaan kereta api sebagai salah satu moda transportasi massal adalah PT KAI (persero).
“Kita siap bekerja sama dengan pemerintah daerah manapun, termasuk dengan DKI. Namun untuk diambil alih maka tidak sesuai dengan aturannya,” ujar Sugeng Priyono.