DPR Ancam Bentuk Panja Khusus Pajak Tambang Migas & Minerba

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melayangkan surat kepada DPR perihal penerimaan negara dari sektor pertambangan yang belum maksimal.

Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis mengaku, pihaknya menerima surat dari KPK soal penerimaan negara sektor tambang. Menurutnya, KPK menilai penerimaan negara dari sektor pertambangan masih banyak kebocoran.

“Intinya, KPK menyebutkan penerimaan negara dari pajak pertambangan masih bisa di­tingkatkan lagi,” katanya kepada Rakyat Merdeka.

Berdasarkan basis data Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, terdapat sekitar 5.800 perusahaan tambang yang terdaftar sebagai Wajib Pajak (WP). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengung­kapkan, ada 6.000 izin tambang yang tumpang tindih.

Ditjen Pajak juga menargetkan penerimaan pajak dari sektor pertambangan tahun ini Rp 80 triliun dan penerimaan pajak dari sektor migas Rp 64 triliun setahun.

Total target penerimaan pajak di sektor pertambangan dan migas sebesar Rp 144 triliun itu un­tuk menunjang agar tercapainya total target penerimaan pajak dalam negeri, yang dipatok da­lam APBN-P 2012 sebesar Rp 968,29 triliun.

Harry mengaku, kinerja pemerintah dalam mengumpulkan ‘pundi-pundi’ dari sektor sumber daya’alam itu juga belum maksimal. Menurutnya, jika Ditjen Pajak kesulitan memperoleh data-data pajak dari perusahaan tambang, seharusnya berani memberikan sanksi.

Anggota Fraksi Partai Golkar ini menyatakan, jika pemerintah masih lemah dalam melakukan itu, Komisi XI DPR akan membentuk panja khusus penerimaan negara dari pajak pertambangan baik migas maupun mineral dan batubara (minerba).

Menanggapi itu, pengamat ekonomi Drajad Wibowo mengatakan, saat ini penerimaan negara dari sektor pertambangan memang belum maksimal. Kendala utamanya karena pemerintah ke­sulitan mendapatkan jumlah perusahaan dan produksinya.

Menurut Drajad, dengan tidak adanya data produksi itu pemerintah kesulitan untuk memenen­tukan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh).

“Sekarang perizinan didelegasikan ke daerah, sehingga banyak yang tumpang tindih dan pusat pun kehilangan track record-nya,” ujar Drajad kepada Rakyat Merdeka.

Dia mendesak pemerintah jangan hanya menunggu data pertambangan dari pemda. Menu­rutnya, Ditjen Pajak harus terjun langsung ke daerah-daerah pusat tambang. Apalagi saat ini banyak tambang-tambang yang dipecah menjadi kecil-kecil untuk menghindari pajak, padahal itu bagian dari perusahaan besar.

“Kalau mereka kesulitan mendata, bagaimana mereka bisa mendata output-nya. Berapa ba­tubara yang keluar dan berapa kalorinya. Tidak adanya data itu juga berdampak pada sulitnya penerapan bea keluar (BK) hasil pertambangan. Bea keluar bisa akurat jika data produksinya ada,” tandasnya.

Menteri Keuangan (Menkeu) Agus Martowardojo menegaskan, pihaknya terus membenahi pembayaran royalti dan pajak penghasilan dari pemegang Izin Usaha Penambangan (IUP).

Menurut Agus, saat ini pihaknya menunggu laporan dari pemda soal kegiatan pertambangan di daerahnya. Menurutnya, 520 pemda berkewajiban melaporkan sesuai peraturan.

Setidaknya terdapat 10 ribu IUP yang sebagian besar tidak mematuhi kewajibannya pada negara. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan tengah melakukan pembenahan data.

Sebelumnya, Dirjen Pajak Fuad Rahmany mengaku kesulitan menjaring perusahaan tambang untuk membayar pajak. Pasalnya, banyak perusahaan-perusahaan tambang tersebut yang tidak mendaftarkan perusahaannya sehingga tidak membayar pajak.

Diposting 04-06-2012.

Dia dalam berita ini...

DPR-RI 2009 Kepulauan Riau
Partai: Golkar