Wakil Ketua Komisi IX DPR Irgan Chairul Mahfiz, menyatakan kasus kekerasan yang dialami wartawan ketika melakukan peliputan menjadi pertanda bahwa jaminan perlindungan atas wartawan masih di atas kertas sehingga belum memberikan jaminan secara maksimal.
"Wartawan seharusnya bekerja terbebas dari rasa takut, intimidasi, maupun teror dari pihak-pihak tertentu," katanya dalam makalah pada Seminar "Keselamatan Jurnalis Dalam Liputan Berisiko Tinggi" yang diselenggarakan Serikat Pekerja Antara di Jakarta, kemarin.
Dalam makalah yang dibacakan oleh anggota Komisi IX dari Fraksi Keadilan Sejahtera Arif Minardi, Irgan mengutip data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sejak Januari hingga Mei lalu telah terjadi sedikitnya 20 kasus kekerasan terhadap jurnalis, termasuk kekerasan yang dilakukan oleh oknum prajurit TNI Angkatan Laut yang memukuli dan merampas paksa kamera, kaset video, dan memori kamera jurnalis di kawasan Bukit Lampu, Kelurahan Sungai Baremas, Kecamatan Lubuk Begalung, Padang, pada 29 Mei 2012.
"Keadaan di atas, telah menjadi keprihatinan bersama, karena pada kenyataannya, kekerasan terjadi justru disaat era kebebasan sedang disanjung. Dalam spektrum demokrasi yang lebih luas, jaminan atas keselamatan wartawan sebagai pekerja harus tetap menjadi perhatian bersama sehingga terjamin relasi kerja yang sehat dan profesional," katanya.
Ia mengingatkan dasar perlindungan atas wartawan menyentuh pada aspek filosofis, sosiologis, politik, dan yuridis. Secara filosofis, katanya, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah menjamin hak dasar setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, sebagaimana termaktub pada Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 yang menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
"Dengan demikian, wartawan sebagai sebuah profesi memiliki posisi yang sama dan setara dengan profesi lainnya. Bekerja sebagai wartawan, menjadi pilihan bebas bagi setiap orang yang memiliki minat dan konsen pada bidang jurnalistik. Oleh karena itu, semua pihak harus memberikan pengakuan dan penghargaan atas bidang ini," kata politisi dari Partai Persatuan Pembangunan itu.
Secara sosiologis, menurut Irgan, eksistensi wartawan melekat pada kerja-kerjanya yang selalu bersinggungan dengan berbagai kelompok masyarakat dan keberadaannya sebagai pencari dan penyampai berita kepada publik memungkinkan wartawan berhubungan dengan banyak pihak karena wartawan membutuhkan sumber berita (publik) dan publik pun membutuhkan penyampai berita yang cepat dan massal.
Secara politis, katanya, arah politik Indonesia, terutama pascareformasi melahirkan peluang besar bagi media massa untuk tumbuh subur dan kebebasan bagi masyarakat untuk mendapatkan dan memberikan informasi merupakan capaian dari era keterbukaan sehingga negara telah meletakkan fondasi bagi berlangsungnya kebebasan informasi bagi seluruh lapisan masyarakat.
Sedangkan secara yuridis, kata Irgan, wartawan terlindungi dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. "Hak dan kewajiban wartawan sebagai pekerja telah diatur secara tegas dalam UU Ketenagakerjaan. Walaupun belum dapat diimplementasikan secara konsisten, Pasal-pasal di atas, menjadi jaminan bahwa dalam menjalankan pekerjaannnya, wartawan mendapat perlindungan," katanya.