Pemerintah Kabupaten Bandung Barat (KBB) dirugikan miliar rupiah akibat tidak terserapnya dana bagi hasil atau profit sharing dan kompensasi dari jasa sektor wisata.
Hal tersebut karena masih karut marutnya mekanisme sistem perpajakan dan retribusi yang diterapkan, termasuk keengganan pengelola wisata memberikan kompensasi ke Pemkab akibat ketidakjelasan payung hukum. “Sektor wisata menjadi salah satu andalan pemasukan bagi kas daerah Bandung Barat, namun faktanya PAD yang terserap dari sektor ini masih sangat minim,” kata Ketua DPRD KBB Aa Umbara Sutisna, kemarin.
Dia mengakui potensi pemasukan ke kas daerah Pemkab dari jasa wisata sangat besar, mulai dari wisata kuliner, outbound, penginapan seperti vila, hotel berbintang, hingga wisata alam ada di Bandung Barat. Khususnya yang berada di kawasan Cisarua, Parongpong, Lembang, dan Padalarang. Tidak maksimalnya pemasukan ke kas daerah, pendapatan asli daerah (PAD) KBB saat ini baru sekitar Rp80 miliar.
Dia mengatakan, berdasarkan hasil studi bandingnya ke Kabupaten Badung di Bali beberapa waktu lalu, PAD KBB sangat jauh tertinggal dari Kabupaten Badung. Setiap tahunnya dari sektor wisata, sektor wisata menyumbang PAD hingga Rp350 miliar. Padahal sektor wisata di tempat itu tidak selengkap seperti yang ada di Bandung Barat, yang punya Tangkubanparahu dan kawasan Lembang yang sudah identik jadi ajang wisata.
“Miliaran rupiah PAD dari sektor wisata di KBB tidak terserap. Salah satunya yang sampai saat ini belum jelas adalah kompensasi dari pengelolaan Tangkubanparahu, di mana setiap tahunnya dikunjungi ratusan ribu pengunjung,” tutur Umbara. Kepala Desa Cikole, Lembang Jajang Ruhiyat mengaku hingga saat ini tidak ada kompensasi dari TWA Tangkubanparahu.
Padahal secara teritorial, Tangkubanparahu sebagian berada di wilayah Desa Cikole. “Pada saat Tangkubanparahu dikelola Palawi ke kas desa ada pemasukan Rp1,5 juta per bulan. Tapi sejak dikelola PT GRPP, sampai saat ini tidak ada pemasukan ke kas desa,” ungkapnya. Padahal beberapa objek wisata yang ada di Desa Cikole seperti rumah makan, vila, dan wisata outbound ada kontribusi ke kas desa.
Seperti contoh Rumah Makan Grafika setiap bulan memberikan kompensasi Rp1 juta, Sindang Reret Rp200.000, dan juga Bandung Tree Trop. Tapi, mengapa Tangkubanparahu tidak memberikan kompensasi, baik ke tingkat desa atau kabupaten, padahal tempat itu sudah menjadi tujuan utama wisatawan yang datang ke Bandung.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata KBB Aos Kaosar mengakui pemasukan ke kas daerah dari sektor wisata di KBB belum optimal. Salah satu yang paling besar adalah kompensasi, pajak, serta retribusi dari pengelolaan TWA Tangkubanparahu, yang sampai saat ini belum jelas dan diterima oleh Bandung Barat.