Kebijakan nasionalis SBY 'mentah'

Peraturan Presiden (Perpres) soal Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24/2012 tentang divestasi saham minerba, Peraturan Menteri ESDM No 07/2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral bisa disebut sebagai kebijakan yang nasionalistik.

"Namun bungkusnya tidak nasionalis. Ini kebijakan mentah. Yang dikenai aturan hanya pengusaha nasional, sedangkan Freeport, Newmont dan kontrak karya asing tidak. Nasionalis darimana? Ingat membuat smelter tidak seperti buat kandang ayam," kata anggota Komisi VII dari Fraksi PDI Perjuangan, Dewi Aryani, kepada wartawan, tadi malam.

Dewi mengingatkan bahwa banyak pengusaha nasional sudah berinvestasi besar namun tiba-tiba proyek mereka harus terhenti gara-gara kebijakan SBY yang nampak nasionalis ini.

Dewi sepakat dengan semangat larangan ekspor dalam bentuk bahan mentah hingga tahun 2014. Pelaku usaha pertambangan juga memang perlu mengolah dalam negeri untuk mendapatkan nilai tambah, tidak hanya bagi negara juga bagi masyarakat dan perusahaan itu sendiri. Dan hal ini juga sesuai dengan amanat UU No 4/ 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara.

"Namun hal ini tidak bisa dilakukan dengan cara pemaksaan tanpa dasar dan tanpa solusi yang jelas. Perlu ada semacam road map komprehensif dan terukur yang jelas sehingga arahnya jelas dan tidak membingungkan pelaku usaha dan stake holder pertambangan yang terkait," ungkap Dewi.

"Ini kebijakan instan dan sebenarnya mengindikasikan banyak agenda pemerintah yang tidak jelas ujung pangkalnya. Sehingga ketika ada ekses negatif, pemerintah sendiri bingung," katanya. Belum lagi, ungkap Dewi, kebijakan ini tidak dilengkapi dengan petunjuk teknis.

Tidak heran, ketika diimplementasikan, malah merugikan banyak pihak dan memicu konflik. Akibat kebijakan ini, misalnya. puluhan ribu karyawan di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara pun sudah di-PHK.

Menurut Dewi, pengelolaan sektor pertambangan ini masih menyisakan banyak masalah. Misalnya soal perijinan yang diberikan oleh pemerintah daerah masih sering melahirkan masalah tumpang tindih dengan pemerintah pusat. Karena tidak sinkron, tidak jarang hal ini melahirkan konflik pertambangan. Belum lagi masalah pajak dan masalah lingkungan yang selalu jadi persoalan.

"Ini semua harus dibedah dan dicarikan solusinya. Kita memang tetap membutuhkan pertambangan tetapi tentu harus dikelola dengan kaidah good mining practice," demikian Dewi.

Selanjutnya, kritikan tajam atas kebijakan ini juga diutarakan oleh pakar ekonomi Rizal Ramli. Dalam enam bulan terakhir ini, kata dia, banyak kebijakan ekonomi pemerintah SBY yang dinilai sebagai kebijakan ekonomi nasionalis. Misalnya seperti menerapkan pajak ekspor komoditi sebesar 15 persen dan kewajiban membangun smelter untuk sektor pertambangan.

Namun kebijakan ini ternyata tidak lepas dari berbagai kritikan. Sebab dalam kenyataannya, sebagaimana disampaikan mantan Menteri Keuangan Rizal Ramli, berbagai kebijakan tersebut lebih banyak sebagai upaya untuk membuka ruang negosiasi. Dan negosiasi ini sebagai bagian dari operasi memburu rente pejabat berkuasa. "Nasionalisme hanya bungkusnya saja, esensinya adalah perburuan rente," kata Rizal Ramli kepada wartawan, tadi malam.

Mantan Menko Perekonomian ini juga menegaskan bahwa para pejabat dalam bidang ekonomi yang kini ada di lingkaran SBY tidak dikenal sebagai nasionalis. "Bahkan, banyak diantaranya memiliki reputasi tidak baik dan sekedar pencari rente," demikian Rizal Ramli.

Diposting 25-06-2012.

Dia dalam berita ini...

Dewi Aryani Hilman

Anggota DPR-RI 2009-2014 Jawa Tengah IX
Partai: PDIP