Kemacetan lalu lintas yang terjadi di wilayah perkotaan semestinya menjadi pertimbangan pemerintah untuk menempatkan energi sebagai sektor utama dalam siklus penetapan kebijakan publik yang berkesinambungan. Oleh karena itu, menurut anggota Komisi VII DPR Dewi Aryani, kebijakan energi seharusnya menjadi patokan dasar dalam pembuatan kebijakan di sektor transportasi dan infrastruktur.
"Semua aspek harus dipertimbangkan. Jangan pada saat menjelang hari raya Lebaran yang diperhatikan hanya jalan. Tapi, juga beri perhatian pada jenis moda transportasi antarkota dan antarprovinsi yang harus berbasis dengan ketersediaan energi," katanya di Jakarta kemarin.
Ke depan, menurut Dewi, sarana transportasi kereta api, bus, dan angkutan umum lainnya harus dibuat nyaman dan menggunakan bahan bakar gas. Hal ini diyakini bisa meminimalisasi penggunaan kendaraan pribadi dengan kesadaran penuh, sehingga bisa berkontribusi dalam penghematan energi yang lebih konkret.
"Jika berbagai sektor sebagai pengguna energi terakhir tidak menempatkan kebijakan energi sebagai prioritas, maka bisa diprediksi, ke depan Indonesia tidak hanya kehabisan sumber energi, tapi juga kehilangan arah kebijakan pembangunan," tutur dia.
Selain itu, dia mengatakan, diperlukan undang-undang (UU) mengenai kedaulatan energi dalam pembangunan perekonomian Indonesia. Dalam hal ini, dengan menempatkan energi terbarukan sebagai motor utama sumber energi ke depan dan posisi sektor energi sebagai penentu dari berbagai kebijakan pembangunan nasional.
Sebelumnya, Menteri ESDM Jero Wacik mengaku telah menyiapkan insentif bagi investor energi terbarukan penghasil listrik dari non-BBM. Namun hingga kini, janji pemberian insentif yang dimaksud belum jelas akan dikeluarkan.
Menteri ESDM pada 29 Mei 2012 juga telah menerbitkan empat peraturan sebagai payung hukum gerakan nasional penghematan BBM bersubsidi, listrik, dan air.
Keempatnya yaitu Permen ESDM Nomor 12/2012 tentang Pengendalian Penggunaan BBM, Permen ESDM Nomor 13/2012 tentang Penghematan Pemakaian Listrik, Nomor 14/2012 tentang Manajemen Listrik, dan Nomor 15/2012 tentang Penghematan Penggunaan Air Tanah.
Saat ini pemerintah dan kalangan DPR bersepakat membawa kisaran kuota volume subsidi BBM sebesar 45 juta-48 juta kiloliter dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2013. Asumsi ini lebih tinggi dari kuota yang dipatok pada APBNP 2012, yakni 40 juta kiloliter.
Anggota Komisi XI DPR Achsanul Kosasih mengatakan, imbauan penghematan energi telah digulirkan pemerintah sejak 2005, 2008 hingga 2011. Namun, memang tidak berjalan seperti yang diharapkan. Bahkan sejak awal Juni 2012, larangan penggunaan BBM bersubsidi bagi kendaraan dinas pemerintahan maupun BUMN/BUMN tidak berjalan.
Sebab, di lapangan masih terdapat banyak mobil dinas yang kerap memanfaatkan BBM bersubsidi. "Padahal mereka (mobil dinas) disediakan jatah khusus BBM dari anggaran pemerintah," ujarnya.
Di lain pihak, pemerintah didesak untuk merevisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 16 Tahun 2011 tentang kegiatan penyaluran bahan bakar minyak (BBM). Hal ini dikarenakan sudah tidak tepat atau sesuai dengan perkembangan kegiatan distribusi BBM, khususnya BBM nonsubsidi.
Menurut pengamat energi/Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria, keberadaan Permen ESDM tersebut sudah kontraproduktif dengan upaya pemerintah dalam menekan penggunaan BBM bersubsidi. "Permen ESDM Nomor 16 Tahun 2011 kacau dan sudah seharusnya direvisi," katanya di Jakarta, Minggu (24/6).
Menurut dia, ada beberapa pasal dalam permen, khususnya berkaitan dengan kegiatan penyaluran BBM nonsubsidi, yang berpotensi dimaknai publik sebagai bentuk proteksi (over protective) untuk perusahaan minyak asing. Bahkan juga ada pasal "titipan" yang menguntungkan pihak perusahaan asing yang juga kompetitor PT Pertamina (Persero).
"Melihat fakta ini, maka Permen ESDM tersebut bisa dibilang kacau, sehingga pemerintah harus merevisinya. Tentunya agar lebih pro pada kebijakan penggunaan BBM nonsubsidi," ujarnya.
Ternyata lembaga penyalur BBM non-public service obligation (PSO) atau agen BBM industri tidak termasuk dalam Ayat (1) Pasal 3 permen itu. Selama ini, para penyalur BBM nonsubsidi dan agen BBM untuk industri menjadi lembaga penyalur yang ditunjuk Pertamina dan anak perusahaan Patra Niaga.
Ini karena Pertamina dan anak perusahaannya telah memiliki jaringan dan sarana fasilitas penjualan BBM nonsubsidi di Tanah Air, melebihi pihak perusahaan asing dan kompetitornya. Namun, dengan adanya pasal itu, maka berdampak langsung mematahkan keberadaan serta fungsi Pertamina dan Patra Niaga. Pada Pasal 3 Ayat 3 ditetapkan penyalur hanya boleh menyalurkan BBM dari satu badan usaha pemegang izin usaha niaga umum yang diberlakukan terhadap penyaluran BBM bersubsidi dan nonsubsidi. Aturan itu bisa mengancam distribusi BBM nonsubsidi, karena tidak semua badan usaha niaga umum--yang bisa menyalurkan BBM nonsubsibdi--memiliki sarana dan fasilitas di seluruh daerah di Indonesia.