Kamis (12/7) ini, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengadu ke Komisi III DPR RI terkait tidak adanya tindak lanjut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap beberapa kasus korupsi yang dilaporkan masyarakat kepada KPK.
Syarkowi Wijaya dari Lembaga Pemantau Penyelenggara Negara Sumatera Selatan, mengadukan lambannya penanganan KPK terhadap kasus Wisma Atlet Palembang. Hingga kini KPK tak kunjung menahan Ketua Pelakasana Pembangunan Wisma Atlet Palembang Rizal Abdullah. Rizal sudah terbukti menerima fee sebesar 0,5 persen dari PT Duta Graha Indah dan uangnya sudah diserahkan ke penyidik KPK.
"Beberapa kali kami melapori tetapi tidak ditindaklanjuti," ujar Syarkowi Wijaya dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi III DPR RI di Ruang Rapat Komisi III, Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan.
Padahal, menurut Syarkowi Wijaya, penahanan dan pemeriksaan terhadap Rizal Abdullah bisa menjadi pintu masuk untuk mengungkap keterlibatan Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin. "Alex Noerdin sudah berkali-kali diperiksa KPK tapi sampai sekarang tidak tersentuh," tuturnya.
Selain kasus Wisma Atlet, ia juga melaporkan kasus-kasus korupsi lain yang melibatkan sejumlah kepala daerah di Sumatera Selatan. Menurut Syarkowi, dari 15 kepala daerah di Sumatera Selatan, hanya empat yang belum terindikasi korupsi, yaitu Kota Palembang, Kabupaten Lahat, Kabupaten Ogan Komering Ulu, dan Kabupaten Musi Banyuasin.
Korupsi terjadi dalam berbagai proyek-proyek yang melibatkan pemerintah daerah. Seringkali anggaran yang dikorupsi bisa mencapai 70 persen, sedangkan sisanya 30 persen untuk pembangunan fisik.
Sementara itu, Albert Tilaar dari Yayasan Kesehatan Pensiunan Caltex mengadukan tidak adanya tindak lanjut KPK terhadap laporannya tentang kasus korupsi dan gratifikasi di sektor pertambangan minyak dan gas bumi terutama penggelembungan anggaran cost recovery sejak tahun 1990-an. Penggelembungan biaya operasi yang dimintakan penggantiannya kepada negara itu dilakukan oleh para pejabat PT Caltex dan BP Migas. Caranya dengan merekayasa anggaran pengadaan dan membuat pengeluaran-pengeluaran yang tidak termasuk biaya produksi, dan biaya administrasi. "Kasusnya banyak, tidak hanya satu, sayangnya itu tidak ditindak. Padahal itu tindak pidana," tutur Albert.
Selain Albert, Direktur Eksekutif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Watch Indonesia, M Yusuf Sahide mengatakan, pihaknya bersama Koalisi Mahasiswa Antikorupsi Maluku Utara sudah melaporkan kasus korupsi yang diduga melibatkan Bupati Kepulauan Sula dan Bupati Halmahera Utara, Maluku Utara dalam proyek pembangunan jalan, jembatan dan pengadaan kapal.
Dalam kasus di Kepulaun Sula, ada indikasi Bupati Ahmad Hidayat Mus telah menyuap penyidik Kepolisian Daerah Maluku Utara. Sedangkan dalam kasus Halmahera Utara, Kejaksaan Tinggi Maluku Utara sudah mengeluarkan surat penghentian perkara (SP3). SP3 itu kemudian dianulir oleh PTUN. Sayangnya, hingga saat ini kejaksaan tidak menindaklanjuti putusan PTUN itu. Dua kasus ini kemudian dilaporkan ke KPK, tetapi tidak ada tindak lanjutnya.
Menanggapi banyaknya laporan masyarakat terhadap laporan kasus korupsi yang tidak ditindaklanjuti oleh KPK, anggota Komisi III DPR RI Ahmad Yani mendesak KPK untuk segera meminta BPK melakukan audit kinerja. Audit kinerja itu dilakukan terhadap semua jajaran direktur dan penyidik di KPK.