Upaya elemen sipil untuk mengajukan judicial review (tinjauan ulang terhadap peraturan perundang-undangan) menyangkut pasal calon independen (Pasal 256) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh Aceh (UUPA) ke Mahkamah Konstitusi (MK), disambut baik kalangan legislatif. Namun ada juga yang mempersoalkan latar belakang lahirnya gagasan tersebut.
Pendapat ini dirangkum dari Wakil Ketua DPR Aceh Amir Helmi, anggota Komite I Dewan Pimpinan Daerah (DPD) RI asal Aceh, HT Bachrum Manyak, secara terpisah, Sabtu (10/4). Sedangkan Sekretaris Komisi A DPR Aceh, Nasruddin Syah mempertanyakan lahirnya gagasan judicial review tersebut. Ia menangkap kesan adanya kepentingan partai politik yang tak lulus electoral threshold (ET) dalam gerakan tersebut.
Amir Helmi menilai, upaya elemen sipil untuk pengujian pasal calon independen harus direspon. Tidak alasan menghalang-halangi apalagi sampai menjegal apalagi semua punya hak untuk melakukan judicial review. “Legalitas calon independen bisa maju tentu melalui kaji ulang pasal yang mengatur tentang hal ini. Kalau MK sudah membatalkan pasal ini tentu semua pihak harus ikut apalagi secara nasional peluang independen telah terbuka,” ujar politisi Partai Demokrat ini.
Pendapat senada disampaikan anggota Komite I DPD, Bachrum Banyak. Ia sepakat pasal yang membatasi calon independen hanya satu kali, dikaji ulang melalui MK. Ia juga menyatakan, anggota DPR Aceh harus bersiap diri jika MK mengabulkan permohonan yang diajukan elemen sipil tersebut, agar bisa segera merevisi Qanun Pilkada.
“Saya dari jalur independen sehingga sepatutnya mendukung adanya calon independen dalam pilkada. Harus judicial review apalagi ada UU lain telah mengatur tentang calon independen,” ujarnya.
Namun, Bachrum menyatakan tidak sependapat dengan upaya kaji ulang terhadap 19 pasal lainnya yang menurut dia masih butuh kajian mendalam. “Yang perlu dipahami UUPA lahir sebagai bentuk kompromi politik dalam menyelesaikan persoalan Aceh. Jangan hanya untuk kepentingan kelompok dan golongan lalu melakukan revisi terhadap pasal yang sudah bagus,” ujarnya.
Ia pun menyarankan para penggagas wacana judicial review terhadap 19 pasal itu mendiskusikan hal ini dengan Forum Bersama anggota DPR dan DPD asal Aceh, akademisi, mahasiswa, LSM, masyarakat, parpol di Aceh. “Pasal yang sudah bagus dalam UUPA harus diimplementasikan, sehingga perdamaian bisa langgeng serta nikmat pembangunan bisa dirasakan rakyat,” ujar mantan wakil ketua DPR Aceh ini.
Sarat kepentingan
Dihubungi terpisah, Sekretaris Komisi A DPR Aceh, Nasruddin Syah mengulas tentang sejarah sosialisasi UUPA tahun 2006. Saat itu, kata Nasruddin, semua elemen sipil sepakat dengan materi UUPA, tanpa ada revisi.
Karenanya, jika belakangan ada suara untuk pasal calon independen dan electoral threshold, Nasruddin meragukan kemurnian gerakan tersebut. Terkesan ada kepentingan terselubung dalam gerakan sipil demi kepentingan perorangan dan partai politik lokal yang perolehan suaranya minim dalam pemilu lalu. “Ini jalan bagi mereka untuk kembali eksis, ini gejala neurorisme politik sekaligus a historis,” ujar politisi Partai Aceh ini.
Seperti diketahui, dalam UUPA, batas minimal parpol yang boleh ikut pemilu ke depan (electoral threshold) adalah memperoleh 5 persen suara di DPR Aceh. Sedangkan secara nasional adalah 2,5 persen suara di DPR RI.
Ditanya apakah pihaknya setuju atau tidak dengan gerakan judicial review pasal calon independen, Nasruddin Syah memberi dua pendapat. Beda pendapat, ujar mantan aktivis mahasiswa ini, dibolehkan. “Untuk upaya hukum silakan saja karena itu jalur resmi serta tidak boleh diabaikan. Namun di sisi lain ia tidak sepakat karena gerakan pragmatisme politik sangat kentara apalagi partisan dari luar partai ingin kembali eksis dalam pilkada ke depan,” ujarnya.