Pembagian tabung gas elpiji 3 kg yang menjadi bagian dari program pengalihan (konversi) minyak tanah ke Elpiji dikeluhkan masyarakat. Telah banyak masyarakat yang mengadukan tabung tersebut rusak. Sehingga masyarakat harus mengeluarkan sekitar Rp 130 ribu lagi baru dapat menggunakan tabung tersebut.
Tabung tersebut disebar ke masyarakat sebagai bentuk program pengalihan (konversi) minyak tanah (mita) ke Elpiji. Untuk sementara, tabung tersebut hanya diberikan kepada masyarakat di Kota Pontianak, Kabupaten Pontianak dan Kubu Raya sebagai pilot project program pemerintah pusat itu.
Kendati baru disebarkan di tiga kabupaten/kota di Kalbar tersebut, beberapa masyarakat telah mengeluhkan kondisi tabung yang tidak layak pakai.
“Tabung Elpiji 3 kilogram itu tidak layak pakai. Sehingga Pertamina perlu meninjau ulang penggunaannya,” ungkap Andry Hudaya Wijaya SH, Sekretaris Komisi D yang membidangi Kesejahteraan Rakyat (Kesra) DPRD Kalbar ditemui di ruang kerjanya usai Rapat Kerja (Raker) Legislatif, Eksekutif, Pertamina dan Perwakilan Masyarakat, kemarin (22/3).
Hal tersebut diungkapkan Andry karena telah mendapatkan laporan dari masyarakat yang mengeluhkan kondisi tabung Elpiji 3 kilogram tersebut, karena untuk bisa menggunakannya terlebih dahulu harus merogoh uang yang cukup banyak.
Andry mengungkapkan, tabung tersebut tidak layak pakai di antaranya karena regulatornya tidak pas, diputar ke kiri ataupun ke kanan tetap saja masih bocor. “Sehingga masyarakat harus membeli regulator baru sekitar Rp 45-50 ribu, baru bisa menggunakannya,” katanya.
Selain itu, pipa yang digunakan hanya terbuat dari karet. Sehingga sangat rawan rusak dimakan tikus dan lainnya, karena kondisi dapur masyarakat Kalbar tidak cukup rapi, apalagi di daerah terpencil. Lagi-lagi masyarakat harus membeli pipa dari besi (stainless) agar aman. Harganya sekitar Rp 85 ribu.
“Sehingga dengan kondisi tersebut, setidaknya masyarakat harus mengeluarkan Rp 130 ribu, baru dapat menggunakan tabung tersebut dengan merasa aman,” terang Andry.
Dengan kondisi perekonomian masyarakat Kalbar saat ini, tambah dia, tentunya dana tersebut sangat membebani masyarakat. Sehingga tidak mengherankan kalau banyak terjadi penolakan terhadap konversi mita ke Elpiji.
Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPRD Kalbar ini menjelaskan, kendati tabung Elpiji 3 kilogram tersebut dinyatakan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI), tentunya tidak semua tabung. “Karena sewaktu menentukan SNI itu paling hanya menggunakan beberapa sampel saja. Tabung Elpiji itu seperti barang kodian,” kata Andry.
Terpisah, Sales Area Manager PT Pertamina Kalbar Ibnu Chouldum membenarkannya adanya keluhan masyarakat terkait tabung Elpiji 3 kilogram tersebut. “Beberapa masyarakat memang mengadukan kerusakan tabung tersebut,” katanya.
Menurut Chouldum, kerusakan tabung dan perlengkapannya tersebut mungkin terjadi ketika pendistribusiannya. “Tetapi yang rusak itu telah kita ganti, dan masyarakat tidak dikenakan biaya atau gratis,” terangnya.
Dia menegaskan, tabung Elpiji 3 kilogram telah memenuhi standar safety SNI 19-1452-2001. Tabung tersebut telah diproduksi sesuai standar yakni dengan katup pengaman (safety valve) yang akan membuka sendiri pada tekanan 18 kilogram per centimeter persegi.
Tabung tersebut juga didesain dengan tekanan maksimum 110 kilogram per centimeter persegi. Sedangkan tekanan gasnya sekitar 5-6 kilogram per centimeter persegi.
Setiap kali tabung gas Elpiji akan diisi ulang di Filling Plant (FP) Pertamian, SPPBE atau SPPEK, kelayakan tabung tersebut akan diperiksa kembali.
Setiap tabung mempunyai waktu beredar sekitar lima tahun sejak diproduksi dan setelah lima tahun dapat diuji ulang secara menyeluruh. Bila kondisinya masih layak untuk diedarkan akan diedarkan lagi dan disi Elpiji hingga lima tahun mendatang.
Tetapi, bila sebelum lima tahun menunjukkan tanda-tanda tidak layak edar seperti tabung berkarat, bocor, penyok dan lainnya, tabung tersebut akan ditarik dari peredaran.
Kondisi Jawa
Kebijakan pemerintah pusat (pempus) terkait pengalihan (konversi) minyak tanah (mita) ke Elpiji (Liquified Petroleum Gas / LPG) 3 kilogram dinilai hanya didasarkan pada kondisi pulau Jawa dan mengabaikan kondisi Pulau Kalimantan.
“Dalam membuat kebijakan itu, jangan hanya menggunakan otak pulau Jawa, perhatikan juga otak Pulau Kalimantan,” kata Drs H Soemitro, Wakil Ketua Fraksi Partai Hanura DPRD Kalbar ketika Rapat Kerja Legislatif, Eksekutif, Pertamina dan Perwakilan Masyarakat di Ruang Serbaguna DPRD Kalbar, kemarin (22/3).
Soemitro mengungkapkan kekesalannya tersebut di hadapan peserta rapat kerja yang membahas konversi mita ke Elpiji di Kalbar. Karena menurut dia, program pusat tersebut mengabaikan kondisi Kalimantan khususnya Kalbar.
“Seharusnya sebelum penerapan konversi secara menyeluruh di Indonesia, pemerintah pusat harus mempunyai data mengenai daerah mana saja yang layak menerapkannya dengan mempertimbangkan kondisi geografis, sosial ekonomi suatu daerah,” kata Soemitro.
Akibat kebijakan yang lahir hanya didasarkan kondisi Pulau Jawa tersebut, terang Soemitro, ketika diterapkan di Kalbar mendapatkan penolakan-penolakan dari masyarakat.
Menurut dia, penolakan terhadap konversi mita ke elpiji dinilai wajar. Karena akibat program tersebut, pemerintah mencabut subsidi terhadap mita. “Padahal tidak semua masyarakat menggunakan minyak tanah hanya untuk memasak,” kata Soemitro.
Bagi masyarakat yang menggunakan mita hanya untuk memasak, tentunya konversi tersebut tidak menjadi persoalan. Tetapi, bagi masyarakat yang menggunakan mita untuk penerangan, terutama di daerah-daerah yang belum terjangkau listrik, tentunya itu akan menjadi persoalan besar. “Nelayan-nelayan tentu juga akan kesulitan bila subsidi minyak tanah ini dicabut,” katanya.
Anggota Fraksi Partai Golkar DPRD Kalbar, Zulkarnaen Siregar SH mengatakan, Pertamina harus berani menyampaikan ke pemerintah pusat kalau penerapan konversi di Kalbar masih bergejolak. “Tolak penerapannya atau ditunda,” ujarnya.
Dia juga mengharapkan, eksekutif Kalbar menyampaikan desakan untuk penundaan program konversi di Kalbar sambil menunggu survei. “Survei yang dilakukan juga harus dapat paten, bukan hanya dengan mengambil sampel secara acak, agar datanya lebih akurat,” harap Zulkarnaen.
Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kalbar, Agus Aman Sudibyo mengatakan, yang menjadi persoalan utama dalam penerapan konversi ini memang terkait jumlah masyarakat yang menggunakan mita untuk penerangan dan lainnya. “Kita sudah sampaikan ke Menteri ESDM dan setelah kita cek, surat itu sudah sampai,” katanya.
Dia juga mengungkapkan, kalau Gubernur Kalbar juga telah menyampaikan surat permohonan ke pusat untuk menunda pelaksanaan program konversi.
Dikarenakan belum adanya jawaban dari pusat mengenai permohonan gubernur tersebut, rapat kerja tersebut sepakat untuk membentuk tim untuk mempertanyakannya ke pusat.
Pimpinan rapat kerja sekaligus Wakil Ketua DPRD Kalbar Nicodemus mengatakan, paling tidak sebelum tiga hari ke depan tim tersebut sudah terbentuk. Anggotanya terdiri atas perwakilan dari legislatif, eksekutif, Pertamina dan perwakilan masyarakat. (dik)