Permasalahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Jakarta masih belum menemukan solusi pasti. Jumlahnya bahkan tak sebanding dengan mall yang bertebaran.
Area yang bisa dijadikan warga Jakarta untuk beraktivitas, rekreasi, sekaligus melepaskan jemu dan penat di tengah impitan rutinitas dan beragam persoalan warga DKI ini, jumlahnya masih sedikit.
Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta Farel Silalahi mengungkapkan, jumlah RTH di Jakarta masih sangat minim.
Menurutnya, penyediaan RTH butuh perhatian khusus dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, mengingat saat ini penyediaan RTH belum mencapai target. Dikatakan, penyediaan RTH tidak perlu mahal, tapi tetap tersedia fasilitas agar masyarakat tidak bosan mengunjunginya.
“Lahan kosong di Jakarta cukup banyak. Itu dapat dimanfaatkan untuk membangun RTH sehingga angka ideal dapat tercapai,” ujar Farel, kemarin
Anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta Ruddin Akbar Lubis menambahkan, RTH harus ditempatkan sebagai tulang punggung pembangunan kota dalam mengurangi banjir, menyerap polusi dan menyuplai oksigen.
Selain itu, dapat dimanfaatkan juga oleh para pejalan kaki dan pesepeda yang ada di Jakarta. Pembangunan RTH, katanya mengingatkan, adalah salah satu indikator kualitas lingkungan kota. Sesuai undang-undang, targetnya harus 30 persen.
“Kita akan lihat apakah gubernur bersikap pesimistis defensif atau optimistis progresif menghadapi keterbatasan lahan, biaya mahal dan pelanggaran peruntukan RTH,” imbuhnya.
Ruddin mengatakan, untuk mengatasi masalah ini, DPRD terus membahas Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi dengan eksekutif.
“Saat ini kami (DPRD) masih membahas bersama pemprov dan menyiapkan langkah yang tepat untuk menyediakan RTH yang layak untuk warga beraktivitas,” ungkapnya.
Saat ini, luas RTH publik Jakarta baru 9,8 persen. Berarti, masih kurang 10,2 persen mengingat untuk target RTH privat ditargetkan sebesar 10 persen dari jumlah total 30 persen RTH. Terhitung sejak 2000 hingga 2011, Pemprov DKI Jakarta hanya mampu menambah RTH publik sebesar 0,8 persen.
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Nirwono Yoga mengatakan, Jakarta memiliki potensi RTH sebanyak 23 persen.
“Potensi RTH itu terbagi dalam 16 persen RTH privat dan 7 persen RTH publik. Yang publik itu, jalur hijau tepi sungai, tepi rel kereta api, di bawah sutet. Belum lagi yang di sekitar situ, waduk, danau dan masih banyak juga lahan negara yang belum dikelola,” jelasnya.
Bila lahan negara dikelola dengan baik, dia optimistis, RTH di Jakarta dapat mencapai 30 persen, jumlah ideal RTH di Jakarta dalam waktu yang relatif tidak terlalu lama.
Demi mewujudkan RTH Jakarta 30 persen itu, Nirwono mendorong pemerintah membangun rumah susun di permukiman padat. Namanya kawasan terpadu. Di situ ada hunian, sekolah, perkantoran, dan pusat perbelanjaan. Sisi baiknya, warga tinggal jalan kaki atau naik sepeda ke lingkungan sekitarnya. Dengan demikian, kondis ini ini mengurangi pencemaran udara dan mendapat RTH.
Menurut Nirwono, masyarakat dapat berpartisipasi dalam mencapai RTH Jakarta 30 persen. Cara yang paling mudah adalah membuat halaman rumahnya menjadi RTH privat, bagian dari RTH kota.
“Warga kita menyumbangkan halaman rumahnya, sekolah, kantor menjadi RTH kota. Tapi pemerintah harus memberikan insentif. Kalau dilakukan, kita sudah menambah lebih dari 16 persen,” jelasnya.
Insentif itu, lanjut Nirwono, dapat berupa biaya kesehatan, biaya pendidikan, potongan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), potongan pembayaran listrik dan air.
Pemprov Ngaku Kesulitan Nambah RTH
Demi mengurangi polusi udara dan memperbaiki kualitas udara di Jakarta, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berupaya menciptakan ruang terbuka hijau (RTH). Saat ini, RTH di Jakarta baru kurang dari 10 persen, lantaran masih terkendala ketersediaan lahan.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengakui, kendala yang dialaminya berimbas pada target 30 persen RTH Jakarta yang belum tercapai. Ia menyadari, RTH sangat dibutuhkan oleh warga Jakarta.
“Kebutuhan untuk menambah kawasan hutan dan ruang terbuka hijau di Jakarta memang agak sulit dibanding kota lain,” katanya.
Fauzi mengatakan, luas lahan yang dibutuhkan untuk membangun ruang terbuka hijau sangat luas. Bahkan, katanya, enam kali luas Monas pun tak cukup.
“Untuk membuka RTH di Jakarta sebesar satu persen saja, dibutuhkan lahan enam kali luas Monas,” imbuh Foke, sapaan Fauzi.
Dia menjelaskan, pihaknya selalu berupaya untuk membeli lahan dan kemudian dihijaukan kembali. Salah satunya adalah lahan di dekat Bandara Soekarno-Hatta yang dibeli dan sudah ditanami pohon-pohonan.
Upaya lain yang tengah dilakukan Pemprov DKI Jakarta adalah membeli tanah di lingkungan komunitas kecil seperti di tingkat kelurahan.
Contohnya, di Kelurahan Ceger, Jakarta Timur, yang berbatasan dengan jalan tol Jagorawi. “Pemprov DKI sudah berupaya membeli tanah warga untuk dihijaukan,” ungkap Foke.
“Misalnya di suatu kelurahan ada tanah 1.000 meter persegi, lalu pemerintah beli dan dibuat ruang terbuka hijau. Kendala ini dapat terurai dan warga Jakarta memiliki ruang interaksi,” tukasnya.