Anggota Komisi B DPRD Provinsi Jawa Tengah (Jateng) Rif’an mengajak para petani dan perokok tidak membeli produk rokok dari pabrik berskala besar.
Ajakan boikot tersebut dilakukan sebagai bentuk perlawanan petani atas kesewenang-wenangan pabrik rokok yang enggan membeli tembakau saat musim panen seperti sekarang ini. Akibat enggan membeli tembakau milik petani, harga tembakau pun jeblok. ”Ya sekali-kali kita enggak membeli rokok dari pabrikpabrik besar itu. Kita cukup merokok dengan hasil buatan sendiri,” ungkap Rif’an seusai mengikuti dialog antara Komisi B DPRD Jateng dengan petani tembakau dan Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Kendal di Aula Kecamatan Pegandon, Kendal, kemarin.
Rif’an menilai selama ini petani tembakau tidak punya daya tawar yang tinggi terhadap pabrik rokok. Karena itu, pabrik dalam menentukan harga dan kuota tembakau yang akan dibeli tidak transparan. Ke depan, lanjut dia, harus ada semacam nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) antara pabrik rokok dengan pemprov-pemkab.
Dalam nota kesepahaman itu harus dijelaskan berapa kebutuhan pabrik rokok selama satu tahun atau musim panen. Dia menambahkan MoU yang sudah diteken Pemprov NTB bisa dicontoh oleh Pemprov Jateng. Kalau MoU bisa diteken minimal tahun depan sudah ada kepastian kebutuhan rokok selama satu tahun atau satu musim. Ketua APTRI Kendal Mundakir mengaku saat ini tembakau yang sudah dipanen mencapai 70%.
Namun tembakau yang sudah dibeli baru mencaai 40%. Perinciannnya sebanyak 30% dibeli oleh pabrik rokok, sisanya dibeli pedagang tembakau. Padahal musim panen tinggal menyisakan 3–4 kali petikan atau sekitar 12 hari lagi. ”Tahun lalu, tembakau yang tinggal menyisakan 3–4 petikan sudah habis dibeli pabrik rokok,” ujar Mundakir.
Dia mengakui lahan tembakau yang ditanam sudah over atau kelebihan. Salah satu penyebabnya sosialisasi ke petani terlambat. Selain itu, lahan milik petani sulit ditanami tanaman selain tembakau. Meski kelebihan produksi, tahun lalu semua tembakau milik petani tetap bisa dibeli pabrik rokok. ”Saat ini harga tertinggi hanya Rp20.000/kilogram (kg), sedangkan tahun lalu bisa menembus angka Rp30.000,” pungkasnya.