Bangsa Indonesia sangat bersyukur batik telah diakui Unesco menjadi warisan dunia asli Indonesia sejak 2 Oktober 2009. Sejak saat itu pula masyarakat Indonesia semakin antusias mengenakan batik dengan bangga dan gembira. Sayangnya, kebanggaan dan kegembiraan itu nampaknya belum dirasakan para pembatik. Nasib para pembatik belum banyak berubah, meski pamor dan sekaligus harga batik sudah semakin tinggi.
"Harga batik tulis di pusat-pusat perbelanjaan berkisar dari ratusan ribu hingga belasan juta rupiah, dengan pujian akan keindahan motif dan ketelitian pengerjaannya," kata anggota DPR RI Ledia Hanifa Amaliah dalam rilisnya, Senin (1/10).
Namun, kata Ledia, siapa di balik batik-batik itu tak banyak yang peduli. "Pun dengan upah mereka yang rata-rata hanya berkisar belasan hingga sekitar 30 ribu rupiah per hari," tambah Ledia.
Angka upah pembatik di Indonesia memang minim, rata-rata di bawah UMR. Tambahan pula, mereka ini sebagian besar adalah buruh lepas, yang dibayar harian oleh pemberi kerja. Jangankan bicara soal tunjangan kesehatan, kecelakaan kerja dan hari tua, tunjangan hari raya (THR) pun sangat tergantung pada kemurahan hati majikan pemberi kerja.
Padahal dalam proses pengerjaan batik ini, papar Ledia yang beberapa kali menemui langsung pengrajin batik di Yogyakarta atau di dapilnya, Jawa Barat, mereka harus duduk sekitar 10 hingga 12 jam setiap hari, di tengah uap panas dari kompor lilin batik, dalam kondisi ruang kerja yang kadang juga tidak cukup berventilasi sehingga rawan mengganggu kesehatan mereka dan rawan terjadi kecelakaan kerja.
Karena itulah politisi PKS ini mengingatkan pemerintah agar tidak hanya mengusung program cinta batik tetapi juga harus memperbaiki nasib para pembatik. "Pemerintah daerah sudah semestinya memberi imbauan kepada para pengusaha batik agar memperhatikan kesejahteraan pekerjanya di antaranya lewat pemberian upah yang memadai. Kemudian para buruh pembatik ini harus dipastikan terdata sebagai mereka yang memperoleh tanggungan dalam BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang akan datang," kata Ledia.
Selain dua hal itu, karena sebagian besar buruh pembatik adalah perempuan, dan sebagian dari mereka juga tergolong pencari nafkah utama, program Askesos dari Kemensos juga harus menjangkau mereka.
"Askesos bisa memberi perlindungan untuk memberikan pertanggungan dan perlindungan sosial bagi warga masyarakat terhadap risiko menurunnya tingkat kesejahteraan sosial akibat pencari nafkah utama dalam keluarga meninggal dunia, sakit, atau mengalami kecelakaan. Maka buruh pembatik harus pula dipastikan terdata sebagai penerima bantuan ini," ujar anggota Komisi VIII ini.
Sehingga, tambah Ledia, peringatan Hari Batik Nasional yang jatuh hari ini bisa menjadi kebahagiaan bagi seluruh masyarakat Indonesia termasuk para pembatik.