Undang-undang Nomor 13 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah masih menjadi ganjalan bagi terciptanya keadilan ekonomi bagi daerah.
Ketua Panitia Khusus Dana Bagi Hasil (Pansus DBH) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) John Pieris menilai, hingga kini masih terjadi ketidakadilan menyangkut dana transfer yang diterima daerah-daerah. Hal itu, salah satunya terlihat pada sektor minyak dan gas yang dieksploitasi dari Kalimantan Timur.
"Dari minyak dan gas itu Provinsi Kalimantan Timur memberikan sekitar Rp 750 triliun ke pusat. Sementara dana yang kembali ke Kalimantan Timur berkisar Rp 1 triliun saja. Sementara hutan yang rusak akibat kegiatan penambangan minyak dan gas itu menjadi tanggung jawab daerah," katanya di Gedung DPD, Selasa (2/9).
Hal serupa juga terjadi pada beberapa sektor lainnya, seperti kehutanan, pertambangan umum, pertambangan panas bumi, perikanan dan perkebunan.
"Pansus Dana Bagi Hasil DPD ini bekerja untuk mendorong keadilan ekonomi yang sumber pendapatannya dari daerah guna memperkuat fiskal ke daerah dan memecah sentralisasi keuangan yang terlalu terpusat," ujarnya.
Sampai sejauh ini, John mengatakan, Pansus DBH DPD telah mendatangi sejumlah daerah penghasil tambang, perikanan, dan perkebunan di Indonesia.
"Semua daerah mengeluhkan ketidakadilan transfer DBH yang mereka terima karena tidak seimbang dengan kerusakan lingkungan dan kebutuhan riil dana yang mereka terima," ujarnya.
Misalnya, untuk Daerah Sumatera Utara tercatat menyumbang sekitar Rp 50 triliun dana ke pusat dari hasil perkebunan. Tetapi kenyataannya daerah tersebut tidak mendapatkan hasil dari pengelolaan sumber daya alamnya. Hal itu dikarenakan pajak ekspor hasil perkebunan sebesar Rp28,3 triliun masih dikuasai pemerintah pusat.
Kondisi serupa juga terjadi di Kota Tual Maluku sebagai penghasil ikan terbesar di Indonesia. Berdasarkan hasil ekspor ikan dan pemasaran dalam negeri, Kota Tual hanya memperoleh Dana Bagi Hasil dari pusat hanya Rp 85 juta per tahun.
"Begitu juga di Jambi dan Sorong, ratusan kilometer pipa minyak berseleweran di daerah itu, sementara masyarakatnya tetap miskin dan tidak dialiri listrik kebutuhan rumah tangga," katanya.