Ujian nasional (UN) sebenarnya tidak bisa menjadi penentu utama kelulusan setiap siswa dalam melanjutkan sekolah. Selama ini, evaluasi siswa diintervensi negara lewat pelaksanaan UN.
Padahal, landasan hukum UN yang mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No.19 tahun 2005 dinilai bertentangan dengan Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Anggota Komisi X DPR Bidang Pendidikan Raihan Iskandar mengusulkan, agar PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan direvisi. Pasalnya, UU Sisdiknas menyebutkan evaluasi akhir siswa ditentukan oleh pendidik atau guru.
Namun, lanjutnya, tiba-tiba pada PP No.19 tahun 2003 menyebutkan, evaluasi siswa diintervensi negara lewat UN. Menurut anggota fraksi PKS DPR ini, PP yang merupakan penjabaran teknis dari UU seharusnya tidak boleh menyimpang dari induknya.
“Sistem Pendidikan Nasional masih carut marut dan perlu dibenahi. Wajar saja jika kawan-kawan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD) menyatakan pelaksanaan UN 2012 melanggar hukum. Wong aturannya melanggar,” kritik Raihan.
“Undang Undang Sisdiknas Pasal 58 ayat 1 menyebutkan, evaluasi akhir dilakukan oleh pendidik (guru), bukan lembaga mandiri Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang ditugaskan membuat UN,” lanjutnya.
Selama ini, kata Raihan, BSNP juga tak pernah melakukan evaluasi dalam institusi pendidikan, hingga kepada para pendidiknya sebagai tugas dan tanggung jawab lembaga mandiri tersebut. Untuk itu, indikatornya tidak bisa ditentukan dengan kegagalan evaluasi UN semata.
Raihan menyebutkan, gugatan terhadap pelaksanaan UN berimplikasi pada tuntutan revisi UU Sisdiknas. “Revisi PP-nya diharapkan bisa menemukan bentuk sistem pendidikan nasional yang ideal,” ujarnya.
Misalnya, sistem pendidikan itu seharusnya sudah mampu memetakan seorang anak didik untuk menjadi akademi atau pro- fesional. Jika metode ini berhasil dilakukan, bisa menghemat anggaran pendidikan.
“Sebaiknya Sistem Pendidikan Nasional ditinjau kembali karena belum menemukan bentuknya. Yang menjadi masalah, ganti menteri ganti juga kurikulumnya. Kalau sistem sudah terbentuk, siapa pun menterinya hingga siapa pun presidennya, sistem pendidikan harusnya tetap berjalan,” jelasnya.
Anggota Komisi X DPR Ahmad Zainudin menyatakan, UU Sisdiknas pasal 68 menyebutkan, fungsi UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk melakukan pemetaan mutu program pendidikan.
“Sangat ironis jika pemerintah mencanangkan pelaksanaan UN yang jujur dan berprestasi, sementara aspek afektifnya tidak masuk dalam penilaian,” katanya.
Hal ini, kata Ahmad, menyiratkan ketidaksinkronan antara UU Sikdiknas No. 20 tahun 2003 dan PP No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang dapat dilihat dari hasil dan tujuan dalam pelaksanaan UN.
Alhasil, menurut Ahmad, pelaksanaan UN dari tahun ke tahun kerap meninggalkan potret suram dalam dunia pendidikan. Tindak kecurangan tidak dapat dihindari dan terus terjadi dalam setiap pelaksanaannya.
“Kondisi seperti itulah yang memicu dunia pendidikan kita semakin memprihatinkan,” tandas Ahmad.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhammad Nuh membantah jika UN bertentangan dengan UU Sisdiknas. Landasan legalitasnya mengacu pada UU No.20 Tahun 2003.
“Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas terdapat pasal-pasal. Dalam hal ini, DPD hanya mencermati pasal 58 ayat 1 saja yang menyebutkan, pendidik berperan mengevaluasi hasil belajar untuk memantau proses kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan,” kilah Nuh.
Menurut Nuh, jika hanya merujuk Pasal 58 ayat 1, pihak luar tidak bisa mengevaluasi. Namun, ada pasal lanjutannya, yaitu Pasal 58 ayat 2 yang menjelaskan, evaluasi peserta didik, satuan pendidikan dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.