Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar Idris Laena merasa prihatin terhadap kondisi Pertanian di Indonesia sampai saat ini, meskipun Indonesia Negara pertanian namun kebutuhan pokok masyarakat sebagian besar masih dipenuhi melalui impor seperti impor Gula.
Hal itu diungkapkan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Ketua Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Faruk Bakrie yang dipimpin Ketua Komisi VI DPR Airlangga Hartarto (F-PG) didampingi wakil ketua Agus Hermanto (F-PD), Aria Bima (F-PDI Perjuangan) dan Nurdin Tampubolon (F-Hanura), di Gedung Nusantara I, Kamis (5/11).
Dia mengatakan, apabila dibandingkan antara produk nasional kita dengan yang berbasis impor ternyata kapasitas olah pabrik gula rafinasi mencapai 3,2 juta ton. Artinya, kita lebih cenderung untuk mengimpor dibandingkan untuk mengolah pabrik sendiri, memperbaiki atau merevitalisasi pabrik sendiri.
Menurutnya, kecenderungan impor bagi pengusaha merupakan hal lumrah artinya impor tersebut menguntungkan dibandingkan produksi. "Sebagai Pengusaha tentu akan mencari profit, namun yang menjadi masalah apabila hal tersebut dilakukan terus-menerus tanpa adanya solusi," katanya.
Dia menambahkan, perlu dibicarakan secara pasti berapa biaya impor ideal sehingga produksi nasional Indonesia dapat lebih meningkat.
Ia menilai, pabrik gula yang ada di Indonesia ini sudah tua-tua bahkan dibuat sebelum zaman kemerdekaan. "Kalau memang bisnis ini menguntungkan saya kira kita semua berlomba-lomba untuk membuat pabrik gula. Tapi karena tidak menguntungkan jadi buat apa, toh kita impor lebih menguntungkan," katanya.
Menurut Idris Laena, perlu ada tata niaga gula dan tata niaganya itu harus dipetakan. Jadi dapat diketahui secara pasti berapa sebetulnya kebutuhan gula untuk kebutuhan konsumen dan kebutuhan pabrik (kebutuhan konsumsi dan kebutuhan produksi).
Sementara Ketua Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Faruk Bakrie dihadapan anggota Komisi VI menjelaskan dalam paparannya, kebijakan proteksi antara lain mencakup pemberlakuan tarif bea masuk, pembatasan impor secara ketat dengan hanya memberikan lisensi kepada produsen, adanya harga pokok penyanggaan (floor price) atas gula petani dan tersedianya dana talangan bagi petani selama gula belum terjual.