Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden pertama RI Soekarno, diharapkan mengakhiri stigma negatif yang sempat melekat dirinya melakukan pengkhianatan kepada negara. Untuk itu, diperlukan pendidikan dan komunikasi publik kepada seluruh anak bangsa untuk membersihkan asumsi Bung Karno pernah bersalah.
Hal ini mengemuka dalam Seminar "Kedudukan Juridis dan Politis TAP MPRS No XXXIII tahun 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno," di Gedung MPR, Selasa (11/12).
Tampil sebagai pembicara pakar hukum tata negara Prof Jimly Asshidiqie, ekonom Universitas Indonesia (UI) Prof Sri Edi Swasono, Wakil Ketua MPT Hajriyanto Y Thohari, dan Peter Kasenda. Sekretaris Fraksi PDIP MPR Achmad Basarah, menjadi moderator.
Ketua Fraksi PDI Perjuangan MPR Yasonna Laoly mendesak agar tak ada lagi perdebatan soal keterlibatan Bung Karno menghianati negara.
"Sulit dipahami Bung Karno melakukan penghianatan kepada negara yang dilahirkannya sendiri. Dengan pemberian gelar pahlawan nasional, stigma negatif itu dihapuskan," ucap Laoly. Menurut dia, pemberian gelar itu bisa menyudahi pro kontra kedudukan yuridis dan politis TAP MPR No XXXIII.
Jimly Asshiddiqie menyatakan, diperlukan upaya pemasyarakatan kepada masyarakat luas melalui pendidikan dan komunikasi publik bahwa persoalan sejarah bangsa mengenai Bung Karno sudah selesai. Apalagi Presiden SBY telah menyampaikan pidato khusus terkait penganugrahan gelar itu pada 7 November 2012 lalu.
"Sayangnya, Presiden tidak secara eksplisit berupaya untuk mengemukakan penegasan sikapnya terhadap TAP MPR itu. Padahal ini penting sebagai petunjuk arah bagi upaya pendidikan politik yang lebih luas bahwa masalah Bung Karno dan ketetapan MPRS itu memang sudah selesai," ujar Jimly.
Dia mengatakan, masalah yang harus diselesaikan hanyalah soal sosialisasi dan pemasyarakatan melalui pendidikan dan komunikasi yang seluas-luasnya.
"Harapannya, hendaknya semua kekuatan bangsa dapat meneladani semua nilai perjuangan dan kepahlawanan Bung Karno. Apalagi bagi generasi sekarang yang sedang mengalami krisis kepemimpinan dan keteladanan, kepahlawanan Bung Karno dapat dihidupkan kembali sebagi sumber inspirasi bagi semua," kata Jimly.
Menurut ketentuan Undang-Undang No 20 Tahun 2009, persyaratan seseorang untuk dianugrahi gelar Pahlawan Nasional tidak boleh cacat secara hukum.
Pernyataan Bersama
Achmad Basarah menegaskan, keluarga besar Bung Karno selama 44 tahun mengalami tekanan psikologis dan traumatis atas adanya ketetapan MPRS itu.
Dalam seminar itu, Pimpinan MPR menegaskan, sudah sangat jelas Tap MPRS itu sudah tidak berlaku lagi. "Maka MPR sekarang tidak perlu membuat TAP MPR baru untuk mencabut Ketetapan MPR/MPRS yang memang sudah tidak berlaku lagi. TAP MPR No XXXIII itu sudah masuk kategori ketetapan yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut karena bersifat einmalig (final), telah dicabut atau telah selesai dilaksanakan," demikian pernyataan bersama lima Pimpinan MPR.
Kalau MPR mencabut ketetapan itu malah menimbulkan kontroversi baru lagi," kata Hajriyanto. Dia mengakui, masih ada pekerjaan rumah bagi MPR yakni perlu dilakukan sosialisasi terkait tidak berlakunya lagi TAP MPR No XXXIII itu. Ketetapan tersebut masuk dalam 139 ketetapan MPR/ MPRS yang dibagi dalam 6 kategori sebagaimana dimuat dalam TAP MPR No. I tahun 2003.
"Ini sebenarnya sudah clear secara yuridis. Secara politis, sekarang perlu sosialisasi karena membaca ketetapan MPR itu memang rumit. Sosialisasi ketetapan itu penting karena menyangkut nama besar Bung Karno, agar stigma politik dapat diluruskan," ujar Hajriyanto.
Sri Edi Swasono mengakui, pidato yang disampaikan Presiden SBY saat menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Bung Karno dan Bung Hatta, sangat spesial. Karena, tak pernah sebelumnya ada penyampaian pidato presiden saat pemberian gelar pahlawan nasional.