Bencana kekeringan sudah, angin kencang sudah, banjir luapan sudah, banjir bandang pun sudah. Bahkan, mahabencana seperti gempa bumi dan tsunami sebagaimana terjadi pada 2004 lalu, juga sudah. Pendek kata, semua ragam jenis bencana itu sudah dialami masyarakat Aceh, setidaknya dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir ini.
Lalu, apakah dengan selesainya bencana-bencana yang telah menelan demikian banyak korban jiwa dan harta benda itu, sekarang Aceh sudah aman dari bencana? Tidak! Tanpa kita sadari, ternyata Aceh masih terus dilanda dan digerogoti oleh satu bencana lain, yang tak kalah risiko bahayanya dibandingkan ragam jenis bencana alam sebagaimana tersebut di atas.
Bencana lain yang kita maksudkan itu adalah beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA), yang sebagian di antaranya terserap ke sektor-sektor yang tidak perlu. Ini tidak terjadi tiba-tiba atau sertamerta seperti halnya bencana alam yang memang tak bisa diprediksi, melainkan terjadi hampir setiap tahun anggaran.
Bayangkan, misalnya, APBA 2013 yang baru saja disahkan dalam tahun anggaran yang baru satu pekan kita tapaki, ternyata harus dialokasikan juga untuk membayar biaya proyek-proyek tahun 2008-2012 yang masih tertunggak. Jumlahnya pun tidak tanggung-tanggung, ada 66 paket proyek dengan besaran nilai sekitar Rp 300 miliar.
Barangkali, tidak masalah atau tidak ada yang perlu dipersoalkan, jika sekiranya proyek-proyek yang dibangun mendahului tahun anggaran berjalan itu sesuai aturan dan mekanisme anggaran, benar-benar urgen dan dibutuhkan masyarakat. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, APBA ‘digerogoti’ dan dihabiskan untuk membiayai ‘proyek akal-akalan’.
Fakta dari kenyataan tersebut, dijejal dan dibeberkan pada halaman utama media ini, kemarin, dengan headline ‘Proyek Bencana Bebani APBA’. Proyek-proyek belum dibayar itu berada di bawah Dinas Pengairan Aceh dan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA). Proyek-proyek tersebut dibangun dengan mengatasnamakan proyek darurat bencana alam.
Menurut Wakil Ketua DPRA, Amir Helmi SH, sebagian besar proyek tersebut tidak melalui mekanisme APBA. Dikerjakan tanpa tender, karena diklasifikasikan sebagai proyek bencana alam. “Yang mengerjakan itu kontraktor yang banyak uangnya. Meskipun dananya tak diplot di APBA, mereka tetap mengerjakan,” sebut Amir Helmi.
Risiko bahayanya, di samping tidak sesuai peraturan dan tidak mengikuti mekanisme anggaran, ternyata sebagian besar ‘proyek akal-akalan’ tersebut akhirnya justru sangat mengecewakan masyarakat selaku penerima manfaat. Sebagai contoh, misalnya, pembangunan jetty TPI Kuala Lamteungoh, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar, tahun 2010, yang justru sangat mengecewakan para nelayan setempat.
Nah, bukankah proyek-proyek yang tak memberi manfaat seperti itu, tergolong ‘bencana’ yang tak seharusnya terjadi, di tengah prioritas kebutuhan anggaran di sektor lain yang lebih penting dan mendesak? Karena itu, para pemangku kepentingan dan pembuat kebijakan perlu kita ingatkan: Proyek bencana janganlah kemudian sampai menjadi ‘proyek bencana’!