Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj mendukung akan diadakannya aturan yang jelas terkait gratifikasi dalam bentuk pelayanan seksual, meskipun sekarang masih menjadi wacana.
Said Aqil mengatakan, hukuman bagi penerima gratifikasi seks harus lebih berat dari penerima gratifikasi dalam bentuk uang. "Suap berupa uang saja haram, apalagi ini menyangkut seks. Ada hukumannya sendiri karena itu bisa disebut zina," katanya di Jakarta, hari ini.
Menurut Said Aqil, gratifikasi seks tidak sekadar melanggar peraturan perundang-undangan, namun juga moral dan hukum agama. "Itu tidak sekadar kejahatan biasa, tapi menyangkut akhlak dan moralitas," tandas kiai bergelar doktor lulusan Universitas Ummul Qura, Mekkah, tersebut.
Said Aqil mengatakan, jika penerima gratifikasi seks itu seorang pejabat, maka ia sudah tidak layak lagi disebut pejabat, sudah tidak patut jadi pejabat negara dan pemimpin bangsa.
Seperti diberitakan sejumlah kalangan berharap ada aturan yang jelas mengenai gratifikasi seks yang diduga cukup marak terjadi, namun tidak pernah dilaporkan.
Anggota Komisi III dari Fraksi PKS Indra berharap bisa dilakukan revisi UU Tindak Pidana Korupsi dan memasukkan norma gratifikasi atau suap seks sebagai bentuk korupsi. Ia khawatir modus gratifikasi seks ini tidak terjangkau dari jeratan hukum atau hanya mendapatkan hukuman yang ringan.
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyebut gratifikasi seks merupakan fakta yang sudah berlangsung sejak lama, biasanya ditujukan kepada pihak yang kebal terhadap suap dalam bentuk uang.
Hingga kini, menurut dia, Indonesia belum mempunyai landasan hukum untuk menindak pelaku gratifikasi seksual.
Wakil Ketua KPK Adnan Pandupraja mengatakan perlu ada aturan yang lebih detil terkait gratifikasi seksual agar lebih mudah dipahami karena sejauh ini belum ada aturan yang jelas mengenai batasan gratifikasi dalam bentuk itu.
Sementara juru bicara KPK Johan Budi menyatakan tidak perlu ada aturan baru untuk gratifikasi dalam bentuk pelayanan seksual karena hal itu sudah tercakup dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam Pasal 12 b UU itu disebutkan gratifikasi meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi seks termasuk dalam kategori fasilitas lain.