Pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri sependapat dengan anggota Komisi VII DPR soal klausul Petroleum Fund dalam revisi UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas). Dana itu harus dikelola oleh badan resmi sehingga laporan keuangannya bisa dipertanggungjawabkan.
"Harus dikelola badan usaha. Dana ini digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat," kata Faisal kepada JurnalParlemen, Kamis (24/1).
Saat ditanya, kenapa harus badan usaha karena dikhawatirkan berorientasi mencari profit, Faisal menyanggahnya. "Kenapa kalau mendapat profit menjadi haram, bila bermanfaat dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat," ujarnya. "BUMN wajib badan usahanya."
BUMN ini, lanjut Faisal, nantinya tidak boleh di bawah Kementerian ESDM. "Bisa di bawah undang-undang sendiri seperti Pertamina," katanya.
BUMN ini seperti disebutkan dalam draf revisi mengelola potensi kekayaan negara bagi sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Tugas badan usaha ini juga untuk menegakkan asas keadilan antargenerasi.
"Jadi kalau kalau minyak itu kita habiskan setahun 800 ribu barel (lifting), harus ada alternatif energi setara dengan minyak yang dihabiskan yang bisa dimanfaatkan generasi mendatang," ujar Faisal.
"Nah bagaimana caranya, bisa mengembangkan potensi angin, energi matahari, geothermal. Jadi ada energi mix-nya. Energy policy itu ada tapi dananya tidak didorong ke sana. Nah dananya adalah dari Petroleum Fund ini."
Anggota Komisi VII DPR Satya W Yudha menyatakan, Petroleum Fund merupakan dana yang disisihkan dari pendapatan negara khusus sektor migas. Politisi Golkar ini mengusulkan dana yang disisihkan itu berkisar antara 5-10 persen. Pendapatan negara termasuk pajak dari sektor ini misalnya mencapai Rp 275 triliun.