Komisi I DPR RI mendesak agar presiden meninjau ulang penerbitan Instruksi Presiden No. 2 tahun 2013 tentang Kemanan Nasional yang diterbitkan pada pekan lalu.
Pengerahan pasukan TNI dalam tugas-tugas Kamtibmas seyogyanya diatur oleh aturan setingkat Peraturan Pemerintah (PP), bukan inpres.
Anggota Komisi I DPR RI, Helmy Fauzi mengatakan itu dalam Dialog Publik dengan tema ‘Kepentingan Melindungi Kekuasaan SBY dan Modal Asing di Balik Inpres Kamnas No. 2 Tahun 2013 dan MoU TNI-Polri” yang berlangsung di Galeria Cafe, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Selasa (5/2).
Helmy menilai bahwa inpres tersebut tidak merujuk pada peraturan perundang-undangan sehingga dapat melemahkan posisi inpres itu sendiri.
Ia menyarankan agar pemerintah sebaiknya menerbitkan peraturan pemerintah (PP) terkait pelaksanaan operasi militer selain perang. “Dalam hal ini juga meliputi tugas perbantuan TNI pada Polri untuk menangani aksi kamtibmas,” ujarnya.
Komisi I DPR menantikan PP yang menjabarkan pasal 7 UU TNI yang mengatur tugas perbantuan TNI pada Polri. Namun, pemerintah tak kunjung menerbitkan PP tersebut, malah muncul inpres.
Pasal 7 UU TNI mengatur operasi militer selain perang yang hanya bisa dilakukan berdasarkan keputusan politik negara dan diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Ia khawatir terjadi pengerahan pasukan TNI untuk mengatasi gangguan kamtibmas yang berarti di luar fungsi pokok utama TNI yaitu mempertahankan negara dari serangan eksternal.
“Jadi pengerahan pasukan TNI dalam mengatasi hal yang terkait kamtibmas, biar ini tugas polisi. Kalau ada perlu penguatan, biar polisi meminta kepada TNI. Untuk mengatur ini, tidak bisa diatur dalam tingkat MoU, ini harus di tingkat PP sebagai penjabaran dari UU TNI,” ujarnya.
Pada kesempatan itu, aktivis dari Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Iwan Nurdin, mengatakan bahwa terbitnya Inpres Kamnas tersebut hanya akan melegitimasi bisnis keamanan sampingan (backing) yang dilakukan oleh TNI dan Polri di wilayah-wilayah pertambangan.
“Inpres ini melegalkan backing TNI dan polri untuk perusahaan-perusahaan swasta, misalnya Brimob di Mesuji, TNI di Papua,” katanya.
Seperti diberitakan, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 Tahun 2013 untuk meningkatkan efektivitas penanganan gangguan keamanan di seluruh tanah air.
Aksi kekerasan dan konflik komunal, termasuk aksi terorisme di tahun 2012 lalu, melatarbelakangi terbitnya Inpres tersebut. Peran kepala daerah yaitu gubernur, bupati, dan walikota diperbesar untuk mengkoordinasikan kepolisian, TNI, dan unsur masyarakat.
Menurut presiden, inti dari inpres tersebut adalah untuk meningkatkan efektivitas penanganan gangguan keamanan di seluruh tanah air. Ia berharap situasi keamanan di Indonesia pada tahun politik ini benar-benar dapat dijaga.
“Disamping Polri dibantu oleh TNI, peran gubernur, walikota, dan bupati akan sangat besar dan menentukan. Tidak boleh ada keragu-raguan dalam bertidak, keterlambatan dalam mengatasinya. Tidak boleh lagi kita menangani konflik komunal secara tidak tuntas. Jangan menyimpan bom waktu," ujarnya saat memberikan pembekalan kepada peserta Rapat Kerja Pemerintah tahun 2013 di Plenary Hall, Jakarta Convention Centre (JCC), Jakarta Pusat, Senin pekan lalu.