DPR mendukung langkah Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) menertibkan pengembang nakal yang tidak mematuhi aturan, dengan mencabut izin operasinya. Sebab, banyak pengembang yang belum menerapkan aturan konsep hunian berimbang.
Dampaknya, masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) makin sulit mempunyai rumah huni. Karena, pengembang lebih tergiur menjual perumahan menengah dan mewah yang keuntungannya sangat besar.
Anggota Komisi V DPR bidang Perumahan Saleh Husin mengatakan, penertiban ini segera dilakukan demi kepentingan masyarakat luas. Ia mendukung langkah Menpera Djan Faridz mencabut izin para pengembang nakal.
“Saya secara pribadi maupun atas nama DPR sangat mengapresiasi tindakan tersebut. Apalagi untuk kepentingan masyarakat luas. Jika ada pengembang nakal, cabut saja izinnya,” tegas Saleh kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Dia mengungkapkan, saat ini banyak pengembang yang belum menerapkan konsep hunian berimbang. Dampaknya, rakyat kecil makin sulit mendapatkan rumah layak huni. Sebab, pengembang lebih memikirkan profit dengan menjual perumahan menengah dan mewah.
“Kalau pengembang makin sedikit yang membuat rumah sederhana, MBR makin sulit mempunyai rumah. Peran Kemenpera sangat penting di sini. Pengembang seperti ini harus ditindak tegas,” kata politisi Hanura itu.
Saleh juga menegaskan, siapapun pengembangnya, baik itu pengembang besar atau kecil, Kemenpera harus berani menindak kalau mereka terbukti melakukan pelanggaran.
Vice President Director PT Agung Podomoro Land (APL) Handaka Santosa menyatakan, siap diganjar sanksi, termasuk pencabutan izin seperti ancaman Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) Djan Faridz, jika nyadinilai melanggar dalam menjalankan aturan hunian berimbang ini.
Handaka mengaku, selalu berusaha mematuhi aturan yang digulirkan pemerintah. “Kita sih tergantung pemerintah, maunya bangun dimana siap-siap saja. Tapi selama ini, pengembang merasa dipersulit dengan Peraturan Daerah maupun konsep itu sendiri,” katanya saat dikontak Rakyat Merdeka, kemarin.
Ia juga tidak khawatir, jika sewaktu-waktu perusahaannya diaudit. “Setidaknya, kami yakin bukan dari salah satu tiga nama pengembang yang masuk daftar hitam Menpera,” ujar Handaka.
Wakil Direktur APL Indra Wijaya berharap, pemerintah mengkaji ulang Peraturan Menteri Perumahan Rakyat (Permenpera) tentang pola hunian berimbang tersebut. Karena, menurutnya, sebelum pola 1:2:3 digulirkan, sudah ada juga aturan dengan pola 1:3:6.
“Pola awal tidak berhasil, sekarang diganti lagi yang baru. Seharusnya dikaji dulu, apa yang membuat peraturan kemarin itu tidak berhasil. Jangan sekadar mengeluarkan peraturan-peraturan baru, tapi realisasinya di lapangan menyulitkan pengembang,” cetus Indra.
Indra mengatakan, sejak dulu, perusahaannya sudah membangun hunian berupa rumah susun hak milik (rusunami) untuk masyarakat menengah ke bawah.
Corporate Secretary APLJustini F Omas menambahkan, saat ini, APL sudah membangun rusunami di tiga wilayah yakni, rusunami di wilayah Kepala Gading dan Kalibata, serta satu kawasan menengah, apartemen Parahyangan di Bandung yang menyasar mahasiswa dengan bujet yang cukup terjangkau.
Presiden Direktur Summarecon Tbk Johanes Mardjuki menerangkan, perusahaannya lebih banyak membangun perumahan menengah hingga menengah ke atas dan tetap mentaati peraturan yang dikeluarkan pemerintah.
“Pasar kita rumah kelas menengah dan menengah atas. Selama ini, segala peraturan pemerintah kita taati. Jadi tak ada masalah,” kata Johanes.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Real Estate Indonesia (DPP REI) Setyo Maharso mengakui, saat ini para pengembang kesulitan membangun hunian berimbang.
Alasnnya, Permenpera masih memiliki kekurangan, seperti batasan harga rumah, menengah dan mewah serta batasan jumlah rumah yang mesti dibangun hunian berimbang.