Siapa Caleg 2024 untuk DPR-RI/ DPD-RI/ DPRD Prov. dan DPRD Kab./Kota-mu? Cek di sini...

Berita Anggota Parlemen

Operasi KRL Jabodetabek Menjadi 22 Jam, Strategi Penghapusan KRL Ekonomi?

Tepat 1 April 2013, PT Kereta Api Indonesia (KAI) telah memulai jadwal baru pengoperasian kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek. Perubahan dari sebelumnya adalah masa pengoperasian menjadi 22 jam per hari. Konon Pelayanan KRL yang nyaris nonstop tersebut sebagai wujud apresiasi KAI terhadap besarnya animo masyarakat Jabodetabek.

Dengan jadwal baru maka jumlah perjalanan KRL bertambah dari 514 perjalanan menjadi 575 perjalanan. Sayangnya, jumlah perjalanan KRL Ekonomi justru turun menjadi 23 perjalanan dari semula 26 perjalanan.

Ketua Kelompok Komisi (Kapoksi) V Fraksi PKS Sigit Sosiantomo memandang ini sebagai satu hal yang patut dicurigai sebagai bagian dari rencana penghapusan KRL Ekonomi. Jika maksudnya untuk meningkatkan pelayanan saya dukung seratus persen, asalkan hal ini bukan strategi untuk menghapus KRL Ekonomi atau menghapus subsidi penumpang KRL.

Sebelumnya terjadi aksi penolakan terhadap rencana KAI menarik secara bertahap KRL ekonomi non-AC yang sempat melumpuhkan perjalanan KRL di Stasiun Bekasi. Juga aksi ratusan penumpang yang tergabung dalam Keluarga Besar KRL Lintas Serpong-Tanah Abang dengan menggelar aksi pengumpulan koin dan tanda tangan sebagai bentuk penolakan.

Terlepas dari setuju atau tidak setuju terhadap penghapusan KRL ekonomi non-AC, yang pertama perlu dikoreksi adalah besaran subsidi (public service obligation/PSO) yang digelontorkan pemerintah selama ini. Tahun ini dana PSO justru turun menjadi sekitar Rp704 miliar dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp770 miliar. Sejatinya dana PSO itu tidak ada artinya dibandingkan subsidi untuk BBM yang mencapai ratusan triliun rupiah, tapi tidak tepat sasaran.

Memang secara fisik kondisi KRL rakyat kecil itu sangat memprihatinkan dan membahayakan penumpang. Mulai dari kondisi pintu yang tidak bisa ditutup hingga penumpang berjubel di atas atap. Berdasarkan data KAI, KRL tarif murah itu sebanyak 1.226 kali mogok sepanjang tahun lalu. Dampak mogoknya KRL tersebut adalah mengganggu 4.200 perjalanan kereta.

Ada dua hal penting yang tak bisa ditawar dalam pelayanan kereta api yang harus berlaku sama bagi semua penumpang, yaitu keselamatan dan waktu. Masalah KRL Ekonomi adalah gerbong yang sudah tua dan kurang layak digunakan lagi.

Bayangkan saja ada gerbong yang beroperasi sejak tahun 1974 dan suku cadangnya sudah tidak diproduksi lagi, hal ini berpengaruh pada tingkat keselamatan. Namun seharusnya gerbong KRL Ekonomi yang sudah tidak layak tersebut diperbaiki atau diganti dengan gerbong baru, bukan malah dihilangkan.

Persoalannya, bagaimana nasib masyarakat kelas bawah kalau harus membayar tiket Commuter Line beberapa kali lipat karena peniadaan KRL ekonomi non-AC. Tarif Rp8000 s.d Rp9000 terlalu mahal dibandingkan dengan tarif kereta komuter negara lain seperti di Malaysia yang kabarnya hanya 1,6 Ringgit (Rp5000) dan Thailand sebesar 16 Baht (Rp5300).

Apalagi tarif kereta komuter bawah tanah Beijing yang hanya 0,8 Yuan (Rp1200). Tarif tersebut masih perlu diverifikasi kebenaranya. Jika benar pun masih harus dilihat jarak tempuh dan fasilitasnya agar fair dalam memperbandingkan.

Tarif Commuter Line jika dibandingkan dengan tarif bus juga masih lebih mahal. Padahal mestinya lebih murah karena sifatnya yang lebih masal. Sebagai contoh tarif bus Patas AC Mayasari Bakti trayek Bekasi-Jakarta sebesar Rp6500, sedangkan yang tanpa AC Rp4500, sementara tarif Commuter Line dari Bekasi ke Jakarta sebesar Rp8500.

Menteri Perhubungan sebagai regulator semestinya jangan gampang menyetujui tariff Commuter Line yang sangat mahal seperti saat ini. Perlu dilakukan perbandingan tarif dan survei ability to pay sebelum tarif ditetapkan.

Dengan tidak adanya kompetitor bagi KAI, sepertinya pengguna dipersilahkan menerima apa adanya atau dipersilahkan memilih moda transportasi lain. Memang tidak ada persaingan head to head antar kereta, namun harus diingat ada moda transportasi lain yakni kendaraan pribadi.

Pengguna jasa layanan KRL Ekonomi bukan hanya pekerja kantoran melainkan juga pelajar, mahasiswa dan pedagang kecil. Apabila sudah biasa menggunakan KRL Ekonomi berganti menggunakan Commuter Line, maka akan merasakan kenaikan biaya transportasi yang signifikan hingga lima kali lipat. Jika pengguna tidak sanggup lagi membeli tiket kereta Commuter Line, kemungkinan sebagian pengguna akan berpindah ke sepeda motor yang masih dimungkinkan mendapat subsidi lewat BBM bersubsidi. Tentunya ini akan menjadi tambahan beban berat bagi pemerintah untuk menjaga kuota subsidi BBM.

Menanggapi pernyataan pimpinan KAI bahwasanya pengguna KRL ekonomi mengalami penurunan terus sedangkan pengguna KRL AC mengalami kenaikan setiap tahunnya, hal ini juga perlu dikritisi. Karena jangan-jangan turunnya jumlah pengguna KRL Ekonomi itu karena jumlah perjalanannya yang dikurangi, dan kenaikan pengguna KRL AC itu juga karena jumlah perjalanannya ditambah untuk menggantikan KRL Ekonomi yang dikurangi.

Bagaimananpun, penurunan pengguna KRL Ekonomi ini tidak bisa dijadikan alasan untuk penghapusan layanan tersebut.

Sementara itu untuk layanan Commuter Line yang notabene non-PSO (non-subsidi) pun ternyata tidaklah lebih baik. Pemenuhan SPM (Standar Pelayanan Minimum) masih rendah. Masih ada gangguan-gangguan perjalanan seperti persinyalan dan wesel yang sering terjadi. Belum lagi ketidakjelasan tiket berlangganan (abonemen), tiket elektronik, dan sebagainya.

Kesimpulannya, jika KAI merasa tidak mampu secara teknis dan finansial untuk menjalankan KRL Ekonomi, bukan berarti malah mengusulkan subsidinya yang dicabut. Semestinya KAI tetap mengusulkan PSO, sekaligus menjalankan semua KRL AC dengan tarif yang wajar dan terjangkau. Penggunaan fasilitas AC saat ini bukan termasuk mewah, sehingga tidak tabu untuk menerima subsidi. Contoh nyata adalah bus Transjakarta dengan fasilitas AC yang disubsidi melalui mekanisme BLU (Badan Layanan Umum).

Jika KRL non AC nantinya dipensiunkan berarti hanya ada Commuter Line pada KRL, maka semestinya PSO bisa dialihkan untuk Commuter Line. Penggunaan KRL selayaknya dipandang sebagai sarana penghematan subsidi BBM daripada penggunaan kendaraan bermotor pribadi di jalan raya. Dengan ini akan terjadi penghematan energi, pengurangan kemacetan di jalan raya dan minimalisasi pencemaran.

Diposting 03-04-2013.

Dia dalam berita ini...

DPR-RI 2009 Jawa Timur I
Partai: PKS