Anggota Komisi IX DPR RI, Zuber Safawi menilai lemahnya peran pemerintah dalam sosialisasi UU nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, penyebab pelanggaran terhadap hak-hak pekerja kerap terjadi dan dianggap remeh.
“Padahal, banyak pasal yang mengancam pidana penjara dan denda yang tidak ringan, di mana penegakan hukum itu dimulai dengan informasi yang benar dan merata,” katanya dalam rilis yang diterima JurnalParlemen, Rabu (24/4). Saat ini Zuber tengah mengikuti kunjungan kerja Komisinya ke Jawa Tengah.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera ini menuturkan, minimnya sosialisasi regulasi ketenagakerjaan, membuat baik pengusaha maupun pekerja tidak memiliki informasi memadai mengenai kewajiban pengusaha atas hak-hak pekerja itu sendiri. “Asas pemerataan informasi itu penting, agar kedua pihak sama-sama tahu hak dan kewajibannya. Sehingga, tidak ada yang merasa dirugikan ke depannya,” ujarnya.
Menurut Zuber, dengan sistem perjanjian kerja yang berlandaskan semangat UU ketenagakerjaan, seharusnya tidak perlu ada demo buruh karena hak-haknya yang dilanggar. “Perjanjian kedua pihak, buruh dan pengusaha sudah cukup clear di awal kerja bila sesuai dengan UU 13/2003. Karena adanya sanksi berat untuk setiap pelanggaran, hal ini akan menjadi kontrol yang efektif,” tuturnya.
Zuber juga mengritik masih lemahnya peran pengawasan pemerintah dalam penerapan regulasi hingga di level terendah. Selain jumlah pengawas ketenagakerjaan yang kurang, mekanisme pengawasannya juga perlu diperbaiki.
Menakertrans menyebutkan jumlah pengawas ketenagakerjaan saat ini sebanyak 1.469 orang yang tersebar di seluruh Indonesia. Sedangkan jumlah perusahaan yang harus diawasi sebanyak 224.060 perusahaan. Kebutuhan ideal pengawas tenaga kerja adalah 1 orang setiap 60 perusahaan per tahun, atau butuh sekitar 3.734 orang pengawas.