Pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia (UI) Akhiar Salmi menjelaskan masalah gratifikasi seks sebenarnya dalam aturan hukum di Indonesia sudah lengkap, hanya pelaksanaannya yang belum optimal.
“Indonesia ini paling lengkap, sudah diatur mengenai permainan uang dan seks. Bahwa yang namanya gratifikasi itu termasuk suap, meski masih ada tafsir lain karena dalam UU secara tertulis tidak disebut. Sanksinya pun jelas, ada seumur hidup, hukuman sementara dengan penjara selama 5 sampai 10 tahun, dan denda pokok Rp 200 juta sampai Rp 1 miliar,” ujar Ahkiar Salmi dalam diskusi menakar sanksi gratifikasi seks bersama anggota Komisi III DPR RI Ahmad Yani, dan praktisi hukum Farhat Abbas di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (30/5/2013).
Sedangkan Achmad Yani mengatakan istilah gratifikasi seks dalam hukum kita belum dikenal. “Kalau pun bisa dimasukkan, bisa masuk ke delik perzinaan,” katanya.
Praktisi hukum Farhad Abbas menilai perempuan yang disodorkan sebagai pemuas seks kepada pejabat dalam rangka mempengaruhi sebuah keputusan tertentu, itu sama dengan korupsi, suap dan gratifikasi.
Dikatakan, itu terjadi sejak kasus mantan Ketua KPK Antasari Azhar dengan Rani, dan sekarang ini perempuan-perempuan Fathanah terkait impor daging yang melibatkan mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, dan lain-lain. Terbukti selain mempengaruhi kebijakan, perempuan-perempuan itu dengan sendirinya menggerogoti uang negara, melalui korupsi yang dilakukan pejabat.
“Jadi, perempuan itu sebagai sarana sangat berbahaya untuk gerogoti uang negara melalui korupsi yang dilakukan oleh oknum pejabat. Karena itu, KPK nantinya diharapkan memiliki pelacak selain untuk menangkap koruptor, dan selingkuhannya,” kata Farhat Abbas.