DPR Prihatin Tahu Gaji Wartawan Masih Minim

Komisi IX DPR RI akan segera memanggil para pimpinan media untuk menindaklanjuti laporan minimnya kesejahteraan wartawan yang disampaikan sejumlah asosiasi wartawan. Majunya industri media seharusnya turut dirasakan oleh para karyawan dan wartawan yang bekerja. Sebagai salah satu pilar demokrasi, awak media dan pekerjaan jurnalistiknya layak mendapat apresiasi lebih. Hal itu terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara asosiasi wartawan di Ruang Komisi IX DPR RI, Senayan, Jakarta Selatan, Selasa (9/7/2013).

Ketua Komisi IX DPR RI, Ribka Tjiptaning mengaku prihatin dengan tingkat kesejahteraan wartawan Indonesia yang mayoritas belum mencapai layak. Padahal, tugas wartawan sangat berat dan sering berada di dalam situasi berbahaya. Senada dengan Ribka, keprihatinan serupa diungkapkan Anggota Komisi IX DPR, Poempida Hidayatulah. Ia mengaku dirinya pernah menyaksikan seorang wartawan yang menderita sakit dan tidak dapat membayar biaya pengobatan karena tidak memperoleh tunjangan dan jaminan kesehatan. “Saya tahu, ketika ada yang sakit, teman-teman wartawan di DPR itu sampai iuran. Masalah-masalah itu riil terjadi,” ujarnya.

Sementara, Anggota Komisi IX DPR, Rieke Diah Pitaloka mengusulkan agar komponen hidup layak (KHL)untuk pekerja sektor media ditambah. Sebab, pekerja sektor media itu memiliki kebutuhan lebih misalnya biaya langganan koran dan internet. “Sudah selayaknya Permenaker tentang KHL harus direvisi lagi. Komponennya tidak cukup ditambah dengan deodorant dan dompet kulit. KHL untuk sektor tertentu, terutama media, harus ditambah,” tuturnya.

Dari unsur wartawan, rapat tersebut dihadiri oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Forum Pemimpin Redaksi. Ketua Umum AJI, Eko Maryadi, memaparkan bahwa saat ini sekitar 50 hingga 60 persen pekerja media tidak mendapat gaji layak. “Meningkatnya bisnis media di Indonesia, baik itu media online, cetak, televisi, tv lokal, dan radio ternyata tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan wartawannya,” ujarnya.

Level termiskin dari pekerja media itu dialami oleh wartawan yang berstatus kontributor/koresponden atau yang disebut stringer/freelancer di daerah. Menurut Eko, banyak kontributor yang bekerja tanpa surat kontrak perjanjian kerja, tanpa gaji pokok, tanpa tunjangan, dan tanpa asuransi. Para kontributor hanya dibayar jika ada berita yang dimuat/ditayangkan. Dengan sistim kerja seperti itu, para kontributor memperoleh penghasilan tidak tentu setiap bulannya. “Jika beritanya tidak dimuat, mereka tidak dibayar,” katanya.

Selain rendahnya kesejahteraan, perusahaan media juga sering menghambat berdirinya serikat pekerja untuk wartawan. Dari sekitar 1700 perusahaan media yang terdaftar, hanya sekitar 10 persen yang memiliki serikat pekerja di perusahaannya. “Perusahaan media seharusnya jadi contoh pada masyarakat sipil lain bahwa salah satu cara untuk memperjuangkan kebebasan pers itu dengan memberi kebebasan berorganisasi,” ujarnya.

Sementara, Sekjen IJTI, Jamaludin Insan menolak jika kontributor di daerah diangkat menjadi karyawan tetap. Menurut dia, hal itu dapat menghambat daya kreativitas wartawan di daerah. Ia lebih setuju jika perusahaan media memberikan tunjangan kesehatan berupa rawat jalan, rawat inap, biaya melahirkan, dan tunjangan hari tua bagi kontributor dengan cara membayarkan premi asuransinya setiap bulan. “IJTI memandang yang berada di daerah memang selayaknya bukan sebagai karyawan, karena kalau jadi karyawan tetap, maka kesempatan tumbuh dan berkembang menjadi terhambat. Berilah kesempatan mereka untuk mengembangkan diri sebesar-besarnya sehingga mereka bisa mendapat penghasilan lebih tinggi,” ucapnya.

Diposting 10-07-2013.

Mereka dalam berita ini...

Ribka Tjiptaning

Anggota DPR-RI 2009-2014 Jawa Barat IV
Partai: PDIP

Rieke Diah Pitaloka

Anggota DPR-RI 2009-2014 Jawa Barat II
Partai: PDIP