Demokrasi Alami Distorsi Industrialisasi Politik

Indonesia merupakan negara yang besar, yang diperjuangkan oleh para pahlawan dengan berdarah-darah. Karena itu, ke depan, Indonesia harus benar-benar dipimpin oleh sosok kredibel dan berintegritas, yang mementingkan kepentingan nasional, dan bukan pemimpin yang lahir dari pencitraan (imagologi) belaka.

Demokrasi Indonesia makin mengalami distorsi dengan meluasnya industrialisasi politik bukan membangun karakter kebanggsaan. Ini adalah perubahan mendasar yang sangat kentara. Lihat saja misalnya upaya setiap partai atau elit politisi untuk membangun image atau citra positif di hadapan masyarakat.

Bahkan untuk keperluan pencitraan itu, dibutuhkan konsultan-konsultan politik yang akan menyulap siapa saja atau kandidat yang berniat menjagokan diri dalam ajang pemilu menjadi lebih bersinar di mata publiknya. Walaupun sebenarnya dari sisi masa lalu memiliki masa kelam.

Lihat saja pada 2009, politik pencitraan ini telah di praktekan oleh SBY dengan mengunakan Fox Indonesia sebagai konsultan dalam Pilpres tahun 2009 yang lalu dan hasilnya SBY bisa memenangkan pilpres

Ciri-ciri dari Industrialisasi politik dan demokrasi adalah adanya sebuah proses yang diawali dengan merubah image seseorang yang dilakukan konsultan pencitraan. Bak produk, dilakukan rekayasa sikap dan perilaku seorang kandidat agar mempunyai daya jual, dan image yang berupa topeng, santun, berwibawa, jujur, amanah, semua simbol-simbol yang diinginkan masyarakat ditempelkan pada wajah kadindat .

"Kita tak mau dipimpin lagi oleh pemimpin yang semusim, yang hanya lahir dari pencitraan yang dibuat-buat dan dibikin-bikin," kata Politisi PDI Perjuangan, Effendi Simbolon.

Effendi gelisah bila pemimpin Indonesia hasil Pilpres 2014 cuma mengulang pemimpin sebelumnya yang merupakan hasil dari rekayasa citra. Lebih mengkhawatirkan lagi bila sosok yang kemudian populer karena rekayasa citra itu merupakan produk dari industrialisasi politik.

Industrialisasi politik, meniscayakan hadirnya pemimpin hasil bisnis politik. Dalam arti kata, ada pemodal yang membiayai sang tokoh agar terus populer. Tentu saja akan lebih membahayakan bila ternyata ada pemodal yang membiayai pencitraannya itu. Sebab akhirnya sosok tersebut akan tunduk pada sang cukong, dan tidak lagi peduli pada kepentingan nasional. Bagaimana ini, Pak SBY?

Diposting 14-08-2013.

Dia dalam berita ini...

Effendi M.S. Simbolon

Anggota DPR-RI 2009-2014 DKI Jakarta III
Partai: PDIP