Pemerintah Jangan Tunggu Rakyat Karena Menjerit Tak Makan Tempe

sumber berita , 28-08-2013

Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan kembali membuka keran impor kedelai untuk mengantisipasi lonjakan harga akibat pelemahan rupiah. 20 perusahaan sudah mengantre izin impor.

Menteri Perdagangan (Mendag) Gita Wirjawan mengatakan, akan mengimpor 600 ribu ton kedelai untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri.

“Tahun lalu kurang lebih konsumsi kedelai kita 2,5 juta ton sampai akhir Juli. Ini sudah 1,9 juta ton, akhir tahun mungkin kebutuhannya 600 ribu ton,” jelas Gita di Jakarta, kemarin.

Dia menegaskan, impor dilakukan apabila para petani tidak bisa memproduksi kebutuhan kedelai sebanyak 600 ribu ton hingga akhir tahun. Jika petani tidak bisa memenuhi itu, akan membuat harga di pasar melonjak.

“Kalau di pasar harga naik, mau nggak mau kita impor untuk kebutuhan tersebut,” ucap Gita.

Gita menungkapkan, sejak diberlakukannya Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dengan adanya Peraturan Presiden yang menyebutkan harga pembelian ke petani seharga Rp 7.000, membuat petani semangat untuk meningkatkan produksi.

Melambungnya harga kedelai hingga menembus Rp 9.000 per kilogram (kg), kata Gita, akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. “Dalam harga kedelai ada dua faktor yang mempengaruhi, yaitu suplai dan nilai tukar,” jelasnya.

Bekas Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) itu mengatakan, saat ini sudah ada 20 perusahaan yang mengantre mengajukan izin untuk impor kedelai. “Ada 20 perusahaan yang mengajukan permohonan, termasuk Bulog,” paparnya.

Dia juga menepis anggapan adanya kartel kedelai terkait dengan melonjaknya harga seperti yang sempat dikabarkan terjadi tahun lalu. “Ini kan sempat bergejolak. Ini ada anomali cuaca dari Amerika Serikat. Dan juga perusahaannya ada 20, kalau kartel kan cuma 3 atau 4,” katanya.

Wakil Ketua Komisi IV DPR E Herman Khaeron meminta pemerintah segera membuat solusi jitu untuk mengatasi melonjaknya harga kedela.

“Jangan menunggu sampai masyarakat menjerit karena tidak bisa mengkonsumsi tempe dan tahu akibat melangitnya harga kedelai,” cetus Herman.

Menurutnya, penyebab utama melambungnya harga kedelai selama ini karena Indonesia tidak swasembada. Sebanyak 60 persen kebutuhan untuk produksi tahu dan tempe mengandalkan impor dari AS dan China. Dengan anjloknya rupiah terhadap dolar AS saat ini, otomatis harga kedelai ikut naik tajam.

“Kapan kedelai kembali pada harga normal, akan sangat tergantung pada menguatnya kembali nilai tukar rupaih,” ujar Herman, kemarin.

Kenaikan harga kedelai, lanjutnya, seperti memiliki periodesasi tersendiri. Tiap tahun selalu ada kenaikan. Tahun lalu, harga kedelai juga melejit. Saat itu penyebabnya adalah ladang-ladang kedelai di AS mengalami kekeringan. Untuk tahun-tahun berikutnya, kenaikan harga kedelai juga tak akan terelakkan selama Indonesia belum swasembada.

Untuk kasus tahun ini, Ketua Departemen Pertanian DPP Demokrat itu meminta pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian, bergerak cepat agar urusan kedelai tidak jadi masalah di tengah masyarakat.

Menurut Herman, ada empat cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah itu. Satu untuk jangka panjang dan tiga untuk jangka pendek. Untuk jangka panjangnya adalah dengan menggenjot produksi dalam negeri melalui berbagai formula subsidi dan bantuan pemerintah.

Sementara langkah jangka pendek yang bisa ditempuh berupa penurunan bea masuk impor secara bertahap dan temporer, menugaskan institusi negara seperti Bulog untuk menjamin dan menjaga stabilitas pasokan dan harga serta memberi subsidi harga secara temporer sampai harga stabil.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pangan, kata Herman, disebutkan pemerintah berkewajiban menjaga stabilisasi pasokan dan harga pangan pokok.

Dalam Undang-Undang Pangan juga diamanatkan agar pemerintah secara khusus membentuk lembaga yang bertanggung jawab langsung ke presiden untuk mengurusi masalah pangan,” cetus Herman.

Diposting 28-08-2013.

Dia dalam berita ini...

E. Herman Khaeron

Anggota DPR-RI 2009-2014 Jawa Barat VIII
Partai: Demokrat