Penyakit Terkait Rokok (PTR) disarankan tidak lagi dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Hal ini dimungkinkan karena didalam UU 36 Tahun 2009 tentang kesehatan di dalam Pasal 170 dan Pasal 173, terbuka peluang untuk dilaksanakan melalui Asuransi Kesehatan Komersial yang tata laksananya diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian APBN tidak perlu lagi menanggung pembiayaan PTR sehingga dapat dipergunakan sepenuhnya untuk membiayai penyakit di luar PTR.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi yang digelar Pusat Studi Hukum dan Pembangunan (PSHP) bertajuk "Dilema APBN Untuk Membiayai Penyakit Terkait Rokok Dalam Perspektif Asas Keadilan", di Jakarta, Kamis (19/9). Diskusi yang dibuka Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Ali Gufron Mukti menampilkan pembicara Ketua PSHP Ade Komaruddin, Anggota Komisi IX/Anggota Badan Anggaran Surya Chandra Surapaty dan Guru Besar Hukum Universitas Padjajaran, Man S Sastrawidjaja.
Ade Komaruddin mengatakan, pemerintah harus segera mencari solusi atas kondisi ini agar azas keadilan dalam pemanfaatan anggaran kesehatan dana APBN tak berlarut-larut. Karena masih banyak penyakit lain yang perlu mendapat perhatian, selain penyakit terkait rokok yang saat ini banyak diidap masyarakat. "Untuk mengobati penyakit yang diakibat kan asap rokok sajat setidaknya menghabiskan dana sebesar Rp 39,5 triliun. Tentunya APBN harus pula mengalokasikan sejumlah anggaran untuk mengobati rakyatnya yang sakit, dan negara tidak perlu khawatir terjadinya pembengkakan APBN karenanya," jelas Ade yang juga Sekretaris Fraksi Partai Golkar.
Surya Chandra juga mengemukakan, hampir separo dari biaya kesehatan yang dikeluarkan pemerintah selalu habis untuk perawatan penyakit-penyakit terkait rokok. Dipaparkannya bahwa biaya perawatan medis rawat inap maupun rawat jalan untuk penyakit-penyakit terkait rokok di Indonesia mencapai Rp 2,1 triliun setiap tahunnya. Angkanya sangat besar karena jumlah perokok di Indonesia tertinggi ke-3 di dunia setelah India dan China. "Dampak yang tak kalah penting adalah hilangnya produktivitas akibat kematian prematur, mordibitas maupun disabilitas yang jatuh sakit. Diperkirakan kerugiannya mencapai Rp 105,3 triliun," ujarnya.
Kondisi itu, menurut Surya Chandra, membuat Indonesia bagai jatuh tertimpa tangga pula. Artinya, sudah banyak warganya yang sakit akibat rokok, negara pun harus tekor karena beban APBN yang begitu besar. Belajar dari pengalaman itu, para perokok sudah sepantasnya dikenakan premi tersendiri dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 2014 agar tak membebani APBN. "Ketimpangan ini akan semakin terasa jika JKN diterapkan pada 2014, karena anggaran pemerintah yang terbatas itu bisa saja habis untuk mengobati pasien yang disebabkan oleh rokok. Ini tidak boleh terjadi," ucapnya.
Terkait dengan hal itu, Wamenkes Ali Gufron Mukti mengatakan, pihaknya saat ini masih membahas apakah penyakit akibat rokok ditanggung pemerintah atau tidak. Hal itu selain untuk membebani anggaran pemerintah, juga memberi pembelajaran bagi para perokok atas risiko yang telah diambil.